Rabu, 04 Desember 2013

Irman Gusman: Pejuang Daerah yang Menjadi Tokoh Nasional

Hari minggu pagi, Anto duduk di teras rumahnya sambil membaca berita-berita nasional yang terpampang di layar monitor laptopnya. Tangan kanannya mengambil gelas di meja dan mengarahkannya ke mulutnya.

“Assalamu’alaikum....” tiba-tiba terdengar teriakan salam yang cukup keras dan mengagetkan Anto.

“Astagfirullah...” teriak Anto sambil bersamaan memuncratkan air minum yang ada di dalam mulutnya ke arah asal suara tadi.

“Bhuaaaaa....” orang yang mengagetkan Anto itu spontan berteriak sambil mengibaskan bajunya yang basah terkena semprotan air minum dari mulut Anto.

Saat keduanya saling berpandangan, secara bersamaan mereka pun berteriak, “Kaaaaaaaammmmu....!!”

“HOOOOOOIIIII....!!” tiba-tiba ada teriakan yang lebih keras dari teriakan Anto dan tamunya.

“Apaan sih kalian ini. Pagi-pagi udah pada teriak-teriak aja. Berisik tahu!” semprot mbak Ana, kakak Anto.

“Yeee.... mbak Ana juga ikutan teriak barusan,” protes Anto.

“Iya... tapi itukan gara-gara kalian. Udah jangan pada berisik. Malu ama tetangga,” kata Mbak Ana memperingatkan Anto dan tamunya sambil masuk kembali ke dalam rumah.

Setelah mbak Ana masuk, Anto kembali teringat pada tamunya dan memperhatikan wajah tamunya baik-baik.

“A... Andi...?” tanya Anto seraya tak percaya.

“He eh. Aku Andi, To,” jawab tamu tadi sambil tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Anto pun menyambut uluran tangan sang tamu, yang ternyata adalah sahabat lamanya. “Wah, udah sukses kamu, ya? Udah berapa lama kita tidak bertemu?” tanya Anto.

“Ya... sekitar tiga tahun,” jawab Andi. “Eh... pagi-pagi begini, kamu lagi ngapain? Udah sukses juga nih. Biasanya baca koran, sekarang malah buka laptop,” sambung Andi bernada meledek.

“Ah biasa aja. Laptop ini hasil honor nulis di beberapa majalah,” jawab Anto sambil melanjutkan, “Ini aku sedang mencari sosok negarawan yang akan kujadikan sebagai tokoh utama dalam naskahku berikutnya.

“Wah.... mau bikin buku apalagi nih?” tanya Andi sambil duduk di sebelah Anto.

“Aku mau bikin buku tentang seorang negarawan yang berasal dari daerah dan memiliki komitmen kuat untuk memajukan pembangunan di daerah, tidak hanya daerah asal tokoh itu sendiri, melainkan juga daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Pokoknya, tokoh negawaran ini haruslah seorang tokoh nasional yang perduli akan perkembangan daerah-daerah di seluruh Indonesia,” jawab Anto sambil kembali memelototi layar monitor laptopnya.

“Wah... cocok banget tuh dengan Pak Irman Gusman,” ucap Andi.

“Siapa?” tanya Anto

“Itu Pak Irman Gusman, Ketua DPD RI yang sekarang,” jawab Andi sambil menambahkan,” Pak Irman itu kan seorang putra daerah yang sekarang menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah. Dan sebagai seorang Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, beliau juga memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan pembangunan daerah-daerah di  seluruh Indonesia”.
“Oh... gitu,” ucap Anto.

“Iya... bahkan beliau juga banyak menerima berbagai macam penghargaan, seperti Bintang Mahaputra Adipradana, Pemimpin Muda Berpengaruh, Pemimpin Muda Indonesia, dan bahkan mendapatkan pula penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat sebagai Pemimpin Muda Potensial di Parlemen,” kata Andi menggebu-gebu.

“Oh... gitu,” lagi-lagi Anto berkata.

“Loh... koq gitu-gitu melulu? Apa masih kurang prestasi dan posisi Pak Irman Gusman untuk menjadi tokoh negarawan dan pejuang daerah yang akan kamu tulis?” tanya Andi.
“Bukan kurang, tapi aku juga harus mengetahui pandangan-pandangan beliau mengenai pembangunan daerah-daerah tertinggal di Indonesia,” kata Anto mengungkapkan alasannya.

“Oh... kalau soal itu, kamu nggak perlu khawatir. Kebetulan beberapa waktu lalu, aku sendiri pernah mendengarkan kata-kata beliau mengenai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah,” kata Andi.

Setelah menarik napas sesaat, Andi kemudian melanjutkan, “Menurut beliau, saat ini tercatat hampir 60 persen dari 183 kabupaten daerah tertinggal terdapat di kawasan timur Indonesia. Oleh karena itu, Pak Irman Gusman berharap agar program pembangunan dan pemberdayaan ekonomi daerah harus didukung dengan percepatan, perluasan, dan pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh daerah, tentunya dengan memberikan perhatian khusus terhadap kawasan timur Indonesia”.

“Pak Irman juga berpendapat bahwa kita harus mengubah paradigma dan pola pikir dengan menjadikan daerah sebagai titik sentral dalam pembangunan nasional,” kata Andi.

“Lalu, apa solusi yang ditawarkan oleh Pak Irman Gusman?” tanya Anto pada Andi.

Setelah terdiam sejenak, seolah-olah sedang mengingat-ingat sesuatu, Andi pun menjawab pertanyaan Anto. “Kalau tidak salah, Beliau pernah menyampaikan bahwa untuk meningkatkan daya saing daerah, ada sejumlah  hal yang perlu diperhatikan sejalan dengan upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas daya saing itu, antara lain menyangkut kualitas lembaga pemerintahan, infrastruktur, stabilitas makro ekonomi, kesehatan maupun pendidikan dasar.”

“Bahkan, beliau juga mengatakan bahwa daerah-daerah di Indonesia bukan hanya bersaing antar daerah, namun juga dengan daerah di luar negeri pada tingkat regional. Sebagai negara agraris, menurut Irman, Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar dan mampu dijadikan tulang punggung perekonomian maupun peningkatan produksi nasional.,” jelas Andi.

“Wah... keren juga nih. Ngomong-ngomong, Pak Irman Gusman ini orang mana sih?” tanya Anto.

“Beliau merupakan putra Minangkabau. Tapi, beliau juga tokoh nasional yang berjuang untuk memajukan pembangunan daerah. Tidak hanya daerah kelahirannya, namun juga daerah-daerah lain di seluruh Indonesia,” jawab Andi mantap.

“Oke banget nih Pak Irman... Cocok untuk jadi tokoh utama dalam bukuku nanti, biar bisa jadi teladan bagi anak-anak dan generasi muda Indonesia,” ujar Anto sambil menambahkan sebuah pertanyaan, “Oh iya, koq kamu bisa tahu banget soal Pak Irman Gusman?”

Sambil tersenyum, Andi menjawab, “Kan aku sekarang udah jadi staf di kantor DPD RI. Jadi, aku tahu banyak tentang Pak Irman Gusman dan kiprahnya untuk bangsa Indonesia.”

“Wah... udah kerja koq nggak bilang-bilang. Ya udah, klo gitu aku minta traktirannya aja deh,” kata Anto sambil melirik tukang bubur ayam yang lewat di depan mereka.

Rabu, 29 September 2010

Berpikirlah Seperti Anak-Anak untuk Menjadi Penulis Cerita Anak

Andi tiba-tiba datang ke rumah Anto, sahabatnya, dengan wajah ditekuk hingga hidung, mata, dan mulutnya nggak kelihatan (hehehe… nggak ding, ini mah lebay banget).

Tanpa permisi apalagi mengucap salah, Andi langsung menghempaskan pantatnya (Nah, kalo ini beneran sesuatu yang menempel dibagian belakang tubuh Andi, ya) di kursi teras yang ada di rumah Anto.

Kebetulan, Anto hendak keluar untuk membeli permen bagi keponakannya. Begitu melihat Andi yang duduk di kursi teras dengan wajah ditekuk, Anto mengurungkan niatnya dan duduk di sebelah Andi.

"Ada apa, sih, Ndi. Datang nggak kasih kabar, tahu-tahu duduk di kursi orang sambil pasang tampang nyeremin, begitu?" tanya Anto dengan nada sabar.

"Ach! Dasar editor kacangan!" somber Andi yang diterjemahkan Anto sebagai jawaban dari pertanyaannya sekaligus permasalahan yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu.

"Loh… loh.. loh. Kenapa, sih? Pasti naskahmu ditolak lagi, ya?" tebak Anto dengan tepat.

"Hooh," jawab Andi lemas.

"Alasan editornya?" tanya Anto dengan hati-hati.

"Masa katanya naskahku lebih cocok untuk orang dewasa daripada anak-anak. Padahal, kan aku bikin naskah itu untuk konsumsi anak-anak," jawab Andi dengan sengitnya.

"Memangnya kamu menulis apa?" tanya Anto lagi tanpa banyak berkomentar.

"Aku menulis tentang Pengusaha Sukses di awal umurnya yang ke empat puluh tahun," jawab Andi dengan yakinnya.

"Apakah kau bawa naskahmu?" lagi-lagi Anto bertanya.

"Tanya mulu, sih? Bantuin 'napa?" protes Andi yang mendengar sahabatnya itu selalu bertanya tanpa memberikan solusi kepada permasalahannya.

"Makanya aku mau lihat naskahmu dulu. Bagaimana aku bisa membantumu kalau nggak jelas ujung pangkalnya. Masa aku harus membelamu tanpa tahu kamu itu benar atau bukan, kalau aku berbuat begitu, berarti aku bukan sahabatmu, tetapi hanya orang yang mendorongmu ke jurang kehancuran," kali ini kata-kata Anto menjadi sebuah kata jawaban.

Dengan malas, Andi mengambil naskah yang dikembalikan oleh editor dari sebuah penerbit dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Anto. Setelah membaca beberapa saat, Anto manggut-manggut sambil menggumam, "Hmmm… heeh… heeh".

"Apaan sih, heeh… heeh.. nggak jelas," sungut Andi.

"Justru sekarang baru jelas," jawab Anto sambil menambahkan, "Editor yang mengembalikan naskahmu ini bukanlah editor kacangan. Justru dia editor yang baik karena menolak naskahm".

"Loh…" belum sempat Andi melanjutkan protesnya, tangan Anto sudah terangkat ke atas sebagai isyarat agar Andi diam.

"Dari naskah yang kubaca ini, memang benar bahwa isinya tidak cocok sama sekali untuk anak-anak," kata Anto sambil memperhatikan ekspresi Andi.

Setelah beberapa saat menunggu dan Andi tidak memprotesnya lagi, Anto melanjutkan kata-katanya, "Kau menulis sesuatu dengan cara dan sudut pandangan orang dewasa. Hal ini akan menyulitkan anak-anak dalam membaca naskahmu nanti".

"Jadi, aku harus menulis bagaimana?" tanya Andi yang mulai mau menerima kesalahannya.

"Ingat nggak, kalau nonton film detektif. Para jagoannya selalu ngomong bahwa untuk menangkap penjahat, kita harus berpikir seperti penjahat?" ucap Anto.

"Lah, emang daku mau jadi detektif, apa? Aku kan mau jadi penulis cerita anak," lagi-lagi Andi protes tanpa mikir dulu.

"Aduh… makanya kalau mau ngomong itu dipikir dulu. Jangan asal ngejeplak dong," Anto mulai kesal dengan sifat sahabatnya itu.

"Maksudnya, kalau kamu nulis untuk anak-anak, ya berpikirlah seperti anak-anak. Lebih jelasnya lagi, jangan nulis sesuatu berdasarkan pemikiran kamu sebagai orang dewasa. Buatlah cerita yang memuat sikap anak-anak dalam berperilaku, menyikapi sesuatu dan cara berpikir mereka sehingga apa yang kamu tulis itu bisa masuk dalam alam pikiran mereka," jelas Anto.

"Lah, Harry Potter aja juga kubilang termasuk novel dewasa koq," protes Andi nggak mau kalah.

"Harry Potter itu, kalau kamu baca dengan lebih teliti lagi, akan ketemu bahwa itu memang bacaan untuk anak-anak meski disukai juga oleh orang dewasa. Tokohnya anak-anak dan mereka terkadang berbuat kesalahan yang khas anak-anak dan butuh tokoh orang-orang dewasa untuk menjaga dan mengarahkan mereka.

Oleh karena itu, ada tokoh Dumbledore, para profesor di sekolah Hogwart dan ada pula orang tua Ron yang menjadi tempat bagi Harry Potter serta pamannya. Tapi, tetap saja si tokoh harus berpikir dan berprilaku seperti layaknya seorang anak-anak. Begitu! Paham?!" tanya Anto.

"Ooohhh… begitu, toh. Aku paham sekarang," jawab Andi sambil menambahkan, "Kalau begitu besok aku harus minta maaf sama editornya karena sudah berprasangka buruk dan menuduhnya sebagai editor kacangan".

"Bagus itu. Makanya jangan selalu mencari kambing hitam dengan menyalahkan orang lain. Cobalah untuk selalu instropeksi diri dan belajar menjadi pribadi yang lebih baik," ucap Anto.

"Baik, pak profesor," kata Andi dan mereka berdua pun tertawa bersama.