Rabu, 29 September 2010

Berpikirlah Seperti Anak-Anak untuk Menjadi Penulis Cerita Anak

Andi tiba-tiba datang ke rumah Anto, sahabatnya, dengan wajah ditekuk hingga hidung, mata, dan mulutnya nggak kelihatan (hehehe… nggak ding, ini mah lebay banget).

Tanpa permisi apalagi mengucap salah, Andi langsung menghempaskan pantatnya (Nah, kalo ini beneran sesuatu yang menempel dibagian belakang tubuh Andi, ya) di kursi teras yang ada di rumah Anto.

Kebetulan, Anto hendak keluar untuk membeli permen bagi keponakannya. Begitu melihat Andi yang duduk di kursi teras dengan wajah ditekuk, Anto mengurungkan niatnya dan duduk di sebelah Andi.

"Ada apa, sih, Ndi. Datang nggak kasih kabar, tahu-tahu duduk di kursi orang sambil pasang tampang nyeremin, begitu?" tanya Anto dengan nada sabar.

"Ach! Dasar editor kacangan!" somber Andi yang diterjemahkan Anto sebagai jawaban dari pertanyaannya sekaligus permasalahan yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu.

"Loh… loh.. loh. Kenapa, sih? Pasti naskahmu ditolak lagi, ya?" tebak Anto dengan tepat.

"Hooh," jawab Andi lemas.

"Alasan editornya?" tanya Anto dengan hati-hati.

"Masa katanya naskahku lebih cocok untuk orang dewasa daripada anak-anak. Padahal, kan aku bikin naskah itu untuk konsumsi anak-anak," jawab Andi dengan sengitnya.

"Memangnya kamu menulis apa?" tanya Anto lagi tanpa banyak berkomentar.

"Aku menulis tentang Pengusaha Sukses di awal umurnya yang ke empat puluh tahun," jawab Andi dengan yakinnya.

"Apakah kau bawa naskahmu?" lagi-lagi Anto bertanya.

"Tanya mulu, sih? Bantuin 'napa?" protes Andi yang mendengar sahabatnya itu selalu bertanya tanpa memberikan solusi kepada permasalahannya.

"Makanya aku mau lihat naskahmu dulu. Bagaimana aku bisa membantumu kalau nggak jelas ujung pangkalnya. Masa aku harus membelamu tanpa tahu kamu itu benar atau bukan, kalau aku berbuat begitu, berarti aku bukan sahabatmu, tetapi hanya orang yang mendorongmu ke jurang kehancuran," kali ini kata-kata Anto menjadi sebuah kata jawaban.

Dengan malas, Andi mengambil naskah yang dikembalikan oleh editor dari sebuah penerbit dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Anto. Setelah membaca beberapa saat, Anto manggut-manggut sambil menggumam, "Hmmm… heeh… heeh".

"Apaan sih, heeh… heeh.. nggak jelas," sungut Andi.

"Justru sekarang baru jelas," jawab Anto sambil menambahkan, "Editor yang mengembalikan naskahmu ini bukanlah editor kacangan. Justru dia editor yang baik karena menolak naskahm".

"Loh…" belum sempat Andi melanjutkan protesnya, tangan Anto sudah terangkat ke atas sebagai isyarat agar Andi diam.

"Dari naskah yang kubaca ini, memang benar bahwa isinya tidak cocok sama sekali untuk anak-anak," kata Anto sambil memperhatikan ekspresi Andi.

Setelah beberapa saat menunggu dan Andi tidak memprotesnya lagi, Anto melanjutkan kata-katanya, "Kau menulis sesuatu dengan cara dan sudut pandangan orang dewasa. Hal ini akan menyulitkan anak-anak dalam membaca naskahmu nanti".

"Jadi, aku harus menulis bagaimana?" tanya Andi yang mulai mau menerima kesalahannya.

"Ingat nggak, kalau nonton film detektif. Para jagoannya selalu ngomong bahwa untuk menangkap penjahat, kita harus berpikir seperti penjahat?" ucap Anto.

"Lah, emang daku mau jadi detektif, apa? Aku kan mau jadi penulis cerita anak," lagi-lagi Andi protes tanpa mikir dulu.

"Aduh… makanya kalau mau ngomong itu dipikir dulu. Jangan asal ngejeplak dong," Anto mulai kesal dengan sifat sahabatnya itu.

"Maksudnya, kalau kamu nulis untuk anak-anak, ya berpikirlah seperti anak-anak. Lebih jelasnya lagi, jangan nulis sesuatu berdasarkan pemikiran kamu sebagai orang dewasa. Buatlah cerita yang memuat sikap anak-anak dalam berperilaku, menyikapi sesuatu dan cara berpikir mereka sehingga apa yang kamu tulis itu bisa masuk dalam alam pikiran mereka," jelas Anto.

"Lah, Harry Potter aja juga kubilang termasuk novel dewasa koq," protes Andi nggak mau kalah.

"Harry Potter itu, kalau kamu baca dengan lebih teliti lagi, akan ketemu bahwa itu memang bacaan untuk anak-anak meski disukai juga oleh orang dewasa. Tokohnya anak-anak dan mereka terkadang berbuat kesalahan yang khas anak-anak dan butuh tokoh orang-orang dewasa untuk menjaga dan mengarahkan mereka.

Oleh karena itu, ada tokoh Dumbledore, para profesor di sekolah Hogwart dan ada pula orang tua Ron yang menjadi tempat bagi Harry Potter serta pamannya. Tapi, tetap saja si tokoh harus berpikir dan berprilaku seperti layaknya seorang anak-anak. Begitu! Paham?!" tanya Anto.

"Ooohhh… begitu, toh. Aku paham sekarang," jawab Andi sambil menambahkan, "Kalau begitu besok aku harus minta maaf sama editornya karena sudah berprasangka buruk dan menuduhnya sebagai editor kacangan".

"Bagus itu. Makanya jangan selalu mencari kambing hitam dengan menyalahkan orang lain. Cobalah untuk selalu instropeksi diri dan belajar menjadi pribadi yang lebih baik," ucap Anto.

"Baik, pak profesor," kata Andi dan mereka berdua pun tertawa bersama.

Kamis, 29 Juli 2010

Royalti 20 persen

Sudah lama Andi tak bertemu dengan Anto, sahabat karibnya. Hari itu, tiba-tiba saja Andi berkunjung ke rumah Anto dan tanpa permisi langsung menghempaskan pantatnya ke kursi malas yang ada di depan rumah Anto. Dengan menghela nafas panjang, Andi hanya menoleh ke dalam rumah sahabatnya itu tanpa memanggilnya walaupun pintu rumah Anto terbuka.

Kebetulan saat itu, Anto sedang membawa setumpuk pakaian basah yang baru saja dicucinya. Saking banyaknya tumpukan pakaian itu, sampai-sampai ia tidak dapat melihat ke depan. Anto pun berjalan sambil mengira-ngira apakah ada halangan atau tidak di depannya. Karena konsentrasi penuh, Anto tidak mengetahiu kalau Andi sedari tadi duduk di kursi malas yang ada di sebelah pintu dan dengan cepat setelah melewaeti pintu rumahnya, Anto meletakkan tumpukan pakaian basah yang dibawanya itu dengan maksud untuk beristirahat dan memperhatikan hendak dijemur dimana pakaiannya itu.

Tiba-tiba…

"Wadaw!!!" teriak Andi yang kaget karena tiba-tiba dirinya kejatuhan pakaian basah.

"Wadaw juga!!!" Anto yang juga kaget spontan berteriak latah.

"Apa-apaan kau ini, Nto?!" semprot Andi yang seluruh tubuhnya jadi setengah basah (bukan setengah mati, ye!).

"Apa-apaan?! Kamu itu yang apa-apaan?! Sejak kapan kamu duduk disitu? Lagian datang-datang bukannya ngucap salam malah duduk diam di teras rumah orang. Kayak maling aja, tahu!!" semprot Anto tak mau kalah.

Baru bertemu, kedua sahabat itu langsung terlibat pertengkaran seru. Setelah saling mengeluarkan kekesalannya masing-masing, akhirnya kedua sahabat itu berdamai dan saling meminta maaf.

"Maaf sih boleh saja. Tapi, gimana dengan cucianku, nih?! Capek-capek aku nyucinya, sekarang jadi kotor lagi, deh," keluh Anto sambil melihat cucian basahnya yang berhamburan di lantai.

"Ya sudah. Kita bilas lagi aja," ajak Andi yang juga merasa bersalah.

Mereka berduapun segera memunguti cucian basah milik Anto dan membilasnya di kamar mandi.

"Eh, ada kabar apaan? Tumben kamu main ke sini?" tanya Anto pada Andi sambil mengguyur cuciannya dengan air bersih.

"Nggak ada apa-apa, kok," jawab Andi berbohong.

"Alaaaa… nggak usah bohong, deh. Aku tahu kalau mukamu kusut begitu, berarti kamu lagi ada masalah, Iya, kan?!" tanya Anto lagi.

"Hooh, nih. Sebenarnya aku lagi kesel banget," jawab Andi akhrinya.

"Kenapa?" tanya Anto.

"Kemaren, aku ke sebuah penerbit dan bernegosiasi soal royalti. Tapi ternyata mereka pelit banget. Akhirnya, aku pulang dan membatalkan naskahku yang akan diterbitkan mereka," kata Andi menceritakan kekesalannya.

"Hmmm… memang berapa royalti yang mereka tawarkan padamu?" tanya Anto yang ingin mengetahui lebih jelas duduk permasalahannya.

"7 persen," jawab Andi singkat.

"Loh, itukan angka yang wajar. Kenapa kamu tolak?" tanya Anto heran.

"Aku maunya royalti 20 persen. Kalau cuman 7 persen, aku nggak bisa cepet kaya, dong!!" sergah Andi yang merasa Anto tidak mendukungnya.

Mendengar jawaban sahabatnya, Anto tertawa sambil memberikan celana jeans yang baru saja diguyurnya dengan air bersih pada Andi.

"Andi… Andi. 7 persen itu adalah angka royalti yang wajar di setiap penerbit. Kalau kamu maunya 20 persen, nggak akan ada penerbit yang mau nerbitin naskah kamu. Lagian, siapa kamu minta royalti setinggi langit begitu," kata Anto menertawakan sahabatnya yang dianggapnya keterlaluan dalam menentukan tarif royaltinya.

Sambil memeras celana jeans yang baru saja diterimanya dari Anto, Andi bertanya balik, "Memang kenapa kalau aku mau 20 persen? Sah-sah saja, kan, permintaanku?"

"Tentu saja sah. Tapi, tidak akan ada yang bersedia menerbitkan naskahmu dan kamu hanya akan berangan-angan mendapatkan royalti 20 persen tanpa pernah merasakan royalti tersebut," jawab Anto sambil menyerahkan sebuah kaos oblong pada Andi.

"Umumnya, penerbit akan menawarkan royalti kepada penulis sekitar 6 sampai 12 persen, meskipun ada juga yang menawarkan hingga 20 persen.. "

"Nah, tuh, kan. Ada yang nawarin 20 persen. Kenapa kamu bilang aku nggak boleh dan nggak mungkin mendapat royalti 20 persen?!" serobot Andi sebelum Anto menyelesaikan penjelasannya.

"Dengar dulu kata-kataku," ucap Anto yang sedikit kesal pada ketidaksabaran Andi.

"Untuk menentukan besaran royalti itu, penerbit akan melihat dulu kapasitas penulis, kelayakan naskah dan juga perkiraan penjualannya dan setiap penulis bisa mendapatkan royalti yang berbeda-beda. Tapi, ada juga yang tidak ingin dibayar secara royalti tapi ingin dibayar flat fee," tambah Anto.

"Apa itu flat fee?" tanya Andi sambil menerima kaos dalam dari tangan Anto setelah selesai memeras kaos oblong sahabatnya itu.

"Flat fe itu adalah pembayaran dengan cara beli putus. Di sini, angka yang ditawarkan sesuai dengan hasil tulisannya, penulisnya siapa, dan perkiraan penjualannya. Untuk penulis baru, jelas tidak sama jumlah yang didapatkannya dengan penulis yang telah mempunyai banyak karya," jawab Anto.

"Emang berapa angkanya?" tanya Andi.

"Ya… sekitar 3 sampai 30 jutaan lah," jawab Anto sambil menyerahkan celana dalamnya yang baru saja diguyur air pada Andi.

"Oh.. begitu. Wadawww apaan nih?!" jerit Andi sambil melemparkan celana dalam yang diterimanya.

"Loh, kok dibuang, sih?!" tanya Anto sewot sambil menambahkan, "Itukan celana dalamku. Emang kamu nggak pernah pegang celana dalam apa?"

"Megang sih pernah. Tapi punyaku sendiri. Kalau punya orang lain mah, cuci dan bilas aja sendiri," kata Andi sambil melangkah keluar dari kamar mandi dan meninggalkan Anto sendiri yang memandang celana dalamnya yang nyemplung ke WC akibat dilemparkan Andi tadi.