Jumat, 13 November 2009

Whatever hatred saves the number. Sebuah Kalimat Sakti

Rupanya, Andi baru saja mengetahui bahwa sekarang internet sedang booming dan menjadi pilihan siapapun untuk menerbitkan tulisannya. Baik itu melalui blog, komentar atau sekedar mengisi guess blog orang lain.

Dan setelah bercerita panjang lebar mengenai orang-orang yang dibayar untuk menulis di internet, Anto yang sedari tadi mendengarkan perkataan Andi, tiba-tiba saja menyodorkan laptopnya dan meminta Andi untuk membaca tulisan yang tertera di layar laptopnya.

"Hah! program apaan tuh Sponzai?" tanya Andi penasaran.

"Itu semacam program Paid Review yang akan membayar kita setelah menulis di blog kita. Tapi, yang ini kayaknya kita cukup copy paste artikel orang yang membayar kita deh. Dulu aku disuruh posting dengan kata Whatever hatred saves the number. " jawab Anto sambil mengalihkan kembali layar monitor ke arahnya.

"Koq, kamu bisa tahu program beginian sih?" kejar Andi dengan pertanyaan.

"Kan, sudah sekitar 6 bulan ini aku ikut program Paid Review begini. Hasilnya, komputer baru di meja itu minggu lalu baru saja aku beli dari hasil menulis di internet," jawab Anto sambil tersenyum melihat sahabatnya itu ternganga tak percaya.

Kamis, 05 November 2009

Mengirim Naskah Ke Penerbit

Sambil berlari-lari menghindari genangan air akibat hujan deras semalam, Andi berusaha secepat mungkin tiba di rumah sahabatnya, Anto.

Akhirnya, dengan terengah-engah sampai juga Andi di teras rumah Anto (jadi belum sampai masuk rumah, ya. Hal ini perlu diperjelas karena terkadang pembaca suka salah menafsirkan tulisan..hehehe just kidding).

"Assalamualaikum," teriak Andi mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam... ," setelah beberapa lama hening akhirnya terdengar jawaban dari dalam rumah.

Begitu pintu rumah dibuka, tampaklah Anto dengan tubuh yang masih basah dan penuh dengan busa sabun. Andi yang melihatnya langsung terlompat kaget (lompatnya dikit doang, kok).

"Astagfirullah!!" teriak Andi sambil melompat (penjelasan melompat ada di alinea atas, ya).

"Hei, emang kenapa kaget gitu. Orang lagi mandi, kamunya malah datang. Ntar kalo nggak dibuka katanya kelamaan. Klo dibuka sekarang.. ya begini jadinya," kata Anto sekenanya.

"Ya... sudahlah. Kamu terusin aja mandinya. Aku tunggu di ruang tamu," kata Andi sambil nyelonong masuk dan langsung duduk di kursi, sedangkan Anto kembali melanjutkan mandinya yang tertunda.

Tak berapa lama kemudian, Anto keluar dari kamarnya dengan dandanan yang rapi jali dan badan yang harum mewangi.

"Eits!! Wangi amat," mau nglamar kerja dimana?" tanya Andi.

"Bukan nglamar kerja, tapi mau nglamar penerbit biar naskahku diterbitkan," jawab Anto.

"Oh gitu toh! Emang gimana caranya nglamar penerbit?" tanya Andi lagi.

Mendengar pertanyaan Andi, Anto langsung tahu bahwa sahabatnya itu tidak bisa dipuaskan dengan jawaban-jawaban yang singkat. Akhirnya, dia memutuskan untuk menjelaskan cara melamar penerbit agar mau menerbitkan naskahnya dengan sejelas-jelasnya.

"Begini, yang pertama tentunya kita harus memastikan dahulu bahwa penerbit yang akan kita lamar itu membutuhkan naskah seperti yang sedang kita tulis," kata Anto.

"Bagaimana caranya kita tahu bahwa penerbit itu membutuhkan naskah sesuai yang kita tulis?" sambar Andi dengan pertanyaan.

"Ya... kita kan bisa menelepon penerbit itu lalu tanya sana tanya sini yang berhubungan dengan naskah dan penerbit itu sendiri," jawab Anto.

"Ih.. SKSD tuh!" celetuk Andi.

"Apaan tuh SKSD?" tanya Anto.

"Sok Kenal Sok Dekat! Lom kenal siapa-siapa sudah main tanya sana tanya sini. Apa bukan SKSD tuh!" jawab Andi.

"Ya.... kan kalo lom kenal, pada saat telpon itu kita bisa sekalian kenalan. Kan ada pepatah, tak kenal maka tak sayang. Kalo nggak kenalan trus tanya sana tanya sini, itu namanya nggak tahu etika," kata Anto sambil menambahkan, "mau dilanjutin nggak penjelasannya?"

"Mau... mau," kata Andi.

"Nah, itu tadi yang pertama. Kita mesti memastikan bahwa penerbit yang kita hubungi membutuhkan naskah yang sedang kita tulis.

Kemudian yang kedua, print-lah karya kita secara rapi dengan sampul depan dan belakang. Jangan lupa sertakan sinopsisnya jika karya kita itu sebuah novel. Jika karya kita berupa seri buku anak-anak, maka sertakan pula konsep produknya yang mengandung unsur-unsur kelebihan naskah tersebut dari buku lain. Untuk ini, kita bisa menampilkan visualisasinya ataupun desain covernya dan jangan lupa CV lengkap kita.

Yang ketiga, tulis besar-besar di pojok amplop jenis naskah yang kita kirim, misalkan Novel Misteri. Tulis nama editor yang pernah ngobrol dengan kita di telepon. Oh ya, waktu ngirim naskah pergunakan jasa pengiriman kilat khusus semacam TIKI, kemudian simpan resinya sebagai tanda bukti.

Kemudian yang keempat, setelah seminggu dikirim, coba telepon ke editor yang pernah berkomunikasi dengan kita, tanyakan apakah naskah kita telah tiba dengan selamat," jelas Anto panjang lebar.

"Sudah pakai jasa pengiriman kilat khusus, masa nggak sampai sih?" tanya Andi memotong penjelasan Anto.

"Ya.. kemungkinan itu pasti ada. Makanya resinya disimpan yang rapi supaya dapat dipergunakan sebagai bukti apabila menanyakan naskah kita yang nggak sampai ke alamat tujuan.

Sudah sekarang kita lanjut ke poin nomer lima. Setelah naskah kita sampai dengan selamat, tunggu selama satu hingga tiga bulan. Jika lebih dari tiga bulan tidak ada kabar berita, sebaiknya ditarik kembali dan memulai proses dari awal. Tapi kalo ada jawaban dari penerbitnya, maka naskah kita layak terbit dan itu berarti peluang untuk terbit semakin besar.

Tapi, proses ini baru sampai di editor akuisisi, nanti naskah kita akan melewati proses rapat-rapat lanjutan dan pada rapat lanjutan ini bagian marketing akan mencari info di pasar, penanggung jawab naskah tersebut akan mencari referensi tambahan dan copy edtornya akan membaca berulang kali kalau naskah tersebut jadi terbit. Jadi, siap-siap untuk masuk jadwal edit. Selain itu, editor development juga siap-siap mencari referensi visual dan desain serta layoutnya."

"Wah, ternyata perjalanan sebuah naskah itu ribet juga, ya," kata Andi sambil merenung.

"Udah nggak usah banyak merenung, pokoknya sekarang Stop Dreaming Start Action," kata Anto sambil melanjutkan, "Yang keenam, jika naskah kita kemudian dinyatakan akan diterbitkan, segera minta surat perjanjian. Baca satu per satu pasal yang ada dalam surat perjanjian tersebut. Jangan sampai ada yang terlewat. Kadang penulis pemula yang naskahnya baru pertama kali akan diterbitkan sering melupakan hal ini. Dia tidak perduli isi surat perjanjian tersebut karena yang terbayang di benaknya adalah naskahnya yang siap menjadi buku.

Jadi, di poin keenam ini, kita harus jeli memperhatikan apa judulnya sudah sesuai, berapa nilai kontraknya, berapa royaltinya, bagaimana cara pembayarannya, berapa lama kira-kira naskah kita akan diproses. Apakah tiga bulan atau satu tahun. Pokoknya kalo ada yang aneh, jangan sungkan-sungkan untuk bertanya.

Lantas, bagaimana kalo setelah masa perjanjian, buku kita belum terbit juga? Nah, ini masuk ke dalam poin selanjutnya atau yang ketujuh. Apabila setelah masa perjanjian terlewati, naskah kita belum terbit juga, segera tanyakan kepada editor yang menjadi penanggungjawab naskah tersebut. Jangan menanyakan hal ini kepada bagian keuangan, OB atau resepsionisnya, pasti jawabannya akan sukses membingungkan kita...hehehe...," kata Anto mencoba melucu. Tapi melihat Andi tidak tersenyum apalagi tertawa, Anto menyadari bahwa Andi sedang mendengarkan penjelasannya secara cermat.

Oleh karena itu, Anto kembali melanjutkan penjelasannya, "Kebalikan dari poin tujuh adalah poin delapan, yaitu bagaimana jika tiba-tiba sudah terbit dengan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Malah dikasih tahu orang lain. Pasti kita surpraise dan bangga dunks. Tapi, menyikapi hal ini bukan surparise atau kebanggaan yang seharusnya kita tonjolkan melainkan segeralah telepon untuk mendapat penjelasan dari editor atau pihak penerbitnya.

Tindakan ini sah-sah saja bahkan harus kita lakukan. Apabila dasar hukumnya kuat, kita bahkan bisa meminta agar buku yang telah diedarkan ditarik kembali."

"Lho, kok poin ketujuh dan kedelapan bisa terjadi. Bukankah lembaga penerbitan itu lembaga yang telah mempunyai prosedur kerja yang baku dan tidak sembarangan saja cara kerjanya?" tanya Andi yang tampak kebingungan.

Mendengar pertanyaan Andi, Anto tersenyum dan memuji ketelitian sahabatnya itu. "Kenapa bisa terjadi? Ya, bisa saja editor kan juga manusia. Pada intinya, kejadian pada poin ketujuh dan kedelapan dapat terjadi dikarenakan banyak faktor, diantaranya adanya rotasi jabatan pada perusahaan tersebut, atau ada orang baru yang menangani proyek buku kita, atau bisa jadi lagi pihak penerbit sudah berusaha menghubungi kita, tapi kitanya lagi nggak berada di bumi. Hehehe..lebay banget, ya?

Pokoknya, kalau alasan yang pertama, yaitu rotasi jabatan yang terjadi, kita bisa mengatakan bahwa ini kesalahan dari atasannya, karena atasannya wajib meminta laporan sedetil mungkin kepada editor yang pernah ada di bawahnya. Jadi semua proses naskah yang akan terbit, sedang dikerjakan, sedang dibaca atau masih antri untuk dibaca semua harus dimiliki oleh atasannya sehingga poin ke tujuh dan kedelapan tidak harus terjadi," urai Anto sambil menambahkan, "Ya sudah. Aku mau berangkat dulu, ntar keburu siang dan editor yang menungguku bisa-bisa kabur entah kemana."

"Okelah kalo begitu. Aku juga mau ikut kamu ke penerbit," kata Andi sambil berdiri dari duduknya.

"Lho, ngapain?" Anto bertanya dengan heran.

"Aku kan juga mau memasukkan naskahku ke penerbit," jawab Andi singkat.

"Memang...," tanya Anto yang keburu dipotong oleh Andi.

"Memang semua yang barusan kamu katakan sudah kulakukan. Pokoknya aku yakin naskahku kali ini akan diterbitkan. Jadi, yuk kita berangkat," potong Andi sambil menunjukkan amplop besar yang sedari tadi ditentengnya.

Akhirnya kedua sahabat itu berangkat bersama dengan membawa mimpi-mimpi indah tentang buku mereka yang meledak di pasaran menjadi buku BEST SELLER!!