Kamis, 28 Februari 2008

Penulis Fiksi Anak Profesional

Sudah agak lama Anto dan Andi tidak bertemu. Sebenarnya, tidak ada masalah di antara mereka. Hanya saja, setiap kali Anto berkunjung, Andi selalu tidak ada di rumah.
Nah, kebetulan saat Anto sedang menikmati Bakso langganannya, Andi juga berada di sana.
"Wah, sudah jadi orang terkenal nih. Susah banget buat ketemu," sindir Anto yang langsung duduk di sebelah sahabatnya itu.
"Sorry..dorry...morry, Nto. Gua lagi punya planning untuk menjadi seorang penulis fiksi anak profesional. Jadi gua harus bergaya seperti selebritis lain, dong. Diantaranya adalah menjadi susah untuk ditemui," jawab Andi enteng.
Anto yang mendengar jawaban sekenanya itu langsung tertawa ngakak. Untung Anto belum makan bakso, kalau sudah makan, bisa nyembur semua tuh bakso ke muka Andi.
"Lho, kenapa kamu ketawa ngakak kayak gitu? Kamu ngeremehin aku, ya?" Andi tersinggung melihat Anto yang ngakaknya nggak berhenti-henti.
Sambil memegang perutnya yang kram karena kelamaan ketawa, Anto meminta maaf pada Andi. "Aduh...sorry...dorry...morry...ketabrak lori di pagi hari ketika lari di rel kereta api," kata Anto membalas gaya bicara Andi yang sok gaul (tentunya plus diskon "ketabrak lori di pagi hari ketika lari di rel kereta api").
"Bukannya meremehkan kamu, Ndi. Cuman, jadi penulis profesional itu bukannya harus ngumpet sepanjang hari biar sulit ditemui. Justru, sebagai penulis profesional, kamu harus sering-sering ketemu penggemar agar kamu makin dikenal oleh pembaca dan bukumu bisa laris di pasaran. Kalau kamu ngumpet terus mana bisa dikenal pembaca," tambah Anto.
Andi terdiam sesaat (bukan terdiam mikir, tapi lagi ngunyah bakso urat segede bola tenis) mendengar kata-kata Anto.
"Kalau aku nggak ngumpet, terus gimana sikap penulis profesional yang sebenarnya?" tanya Andi.
"Soal menjadi penulis fiksi anak profesional yang pernah aku baca di sebuah millis itu ternyata mempunyai beberapa syarat.
Yang pertama dan paling utama adalah mengandalkan dunia menulis fiksi anak sebagai mata pencaharian pokok (sampingannya sebagai seleb, guru, atau mungkin direktur).
Yang kedua, produktif menghasilkan karya fiksi anak (tapi bukan untuk disimpan di harddisk doang).
Yang ketiga, mampu membuat karya yang bermutu tinggi (minimal tembus media, tingkatan lebih tinggi... bisa dapat penghargaan IKAPI atau Nobel).
Yang keempat, terampil (memahami sampai ha-hal yang kecil. Kasarannya nggak salah dalam penempatan tanda baca titik dan koma).
Yang kelima, mampu memilih tema dan bentuk fiksi anak yang menarik di pasar (Ya... cobalah jadi pioneer dalam sebuah tema cerita. Jangan selalu jadi pengekor)
Yang keenam, memiliki sarana yang lengkap (nggak nebeng di teman atau ke rental setiap hari).
Yang ketujuh, keterampilan bernegosiasi (dengan media cetak atau penerbit. Dan dalam hal ini, juga harus mampu membina hubungan)," panjang lebar Anto menjelaskan pada sahabatnya.
"Untuk menjadi seperti itu, aku harus bagaimana?" Andi makin bingung.
"Lha, tadi mengaku sudah menjadi penulis terkenal. Kok masih tanya caranya, sih?" goda Anto.
"Ya, bergaya doang boleh dong. Kan, biar nggak kaget klo nanti sudah jadi penulis profesional beneran," kelit Andi.
"Untuk bisa sampai ke sana, yang pertama kamu jangan pernah mengirimkan naskah yang tidak memiliki nilai jual.
Kenapa? Karena image penulis profesional kita mesti dibangun sejak awal.
Kemudian, kita harus aktif mengelola diri. Artinya, jangan cuma mengirim naskah lalu menunggu sampai lumutan. Tapi, cobalah untuk aktif berdiskusi dengan beberapa penulis fiksi anak, dan terus mencari celah diskusi dengan para editor media cetak atau penerbitan.
Hal ini bertujuan untuk membangun hubungan baik sekaligus mencari kelemahan diri dan menambah skill menulis kita dari masukan, saran dan kritik mereka," Anto kembali menambahkan penjelasannya tentang penulis profesional.
"Kalau sudah mengikuti semua yang kamu katakan, berarti aku sudah bisa menjadi penulis profesional, gitu?" kejar Andi dengan pertanyaan.
"Kalau kamu istiqomah, rajin dan pantang menyerah, InsyaAllah gelar penulis profesional akan berada di tanganmu," jawab Anto singkat.
"Dan, gua bisa jadi orang kaya, dong?" balas Andi dengan pertanyaan.
"Ya...kalau mau kaya sih tergantung pada banyak hal," Anto masih menjawab seadannya.
"Maksudnya?" lagi-lagi Andi bertanya.
"Ya...bagaimana gaya hidup kamu," jawab Anto yang langsung disambung, "STOP!! No more question!"
"Seberapa banyak penghasilanmu kalau gaya hidup dan pengeluaranmu lebih besar dari pendapatan, sampai kapanpun kamu tidak akan bisa kaya," Jawab Anto sambil meninggalkan sahabatnya (tentunya setelah membayar bakso yang dibungkus karena tidak jadi dimakan di tempat).

Jumat, 01 Februari 2008

Merajut Cerita dalam Novel





Kulit di kening Anto langsung berkerut lipat sembilan saat bertamu ke rumah Andi. Kenapa? Karena Anto melihat robekan-robekan kertas dan berbagai macam kertas yang telah diremas-remas oleh seseorang.

Sementara itu, Andi terkapar di kursi panjangnya linangan air liur hampir menutupi wajahnya (wuih..hiperbola banget neh bahasa. Masa' iler aja sampai hampir menutupi wajah).

Anto yang tak mau terkontaminasi iler sahabatnya itu membangunkan Andi dengan melemparkan kertas yang telah diremas-remas ke wajah Andi.

Lemparan pertama .... gagal. Lemparan kedua ... hanya menyerempet ujung rambut Andi. Dan kini, lemparan ketiga............... wiuh! Gagal lagi! Berkali-kali melempar tapi tetap gagal, Anto jadi frustasi juga. Akhirnya dia meraup semua kertas yang telah diremas-remas, mengumpulkannya di dalam keranjang dan melemparkan semuanya ke arah Andi. Bukan hanya kertasnya, tapi juga keranjangnya sekalian (waduh!).

Andi yang kelelahan dan tampaknya sedang bermimpi indah itu langsung melompat bangun dan memasang kuda-kuda seperti orang berkelahi. "Aits...Aits..siapa itu? Siapa berani mengganggu Andi, jagoan dari Betawi, keturunan langsung Si Pitung?" teriak Andi sambil memamerkan jurus-jurus silatnya.

Tiba-tiba, "Tuk" sebuah kertas menyambar kepala Andi dari belakang. "Aits!" Andi langsung berbalik.

"Apa, Lo?" tanya Anto dengan lagak menantang.

"Eh, ternyata kamu, Nto," kata Andi sambil mengelus-elus dadanya dan kembali duduk di kursi panjang.

"Eh, emangnya hujan barusan turun, ya? Kok, rumahku bocor?" Andi kebingungan ketika dia merasakan kursi panjangnya basah kuyup. Padahal, Andi yakin rumah kontrakannya itu tidak bocor.

"Itu bukan karena rumah kamu bocor, tapi mulut kamu tuh yang bocor. Liat aja, iler sampai berleleran di wajah kamu gitu. Jorok banget sih!" tukas Anto sambil cengar-cengir.

Setelah membereskan iler-iler yang menggenang di beberapa tempat (soalnya Andi kalau tidur suka pindah kemana-mana tanpa disadarinya), dan membersihkan kertas-kertas yang berserakan, Andi mempersilakan Anto untuk duduk.

"Kamu lagi bikin apaan, Ndi. Kok rumah kamu jadi kayak kapal pecah begini?" tanya Anto.

"Dari semalam aku lagi pengin bikin novel anak. Cuman, kok sulit banget, ya. Untuk membuat cerpen sekarang aku sudah agak lancar, tetapi saat mencoba membuat novel anak, entah kenapa otak ini jadi buntu dan rasanya terlalu berat untuk membuat novel anak yang harus sekian puluh, bahkan sekian ratus halaman," keluh Andi.

Dengan tersenyum, Anto mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu. Setelah Andi selesai berbicara, Anto pun bertanya, "Bagian mana yang menurut kamu sulit?"

"Bagian memperpanjang cerita yang menurutku paling sulit. Aku merasa bahwa konflik yang aku bangun hanya cocok untuk sebuah cerpen. Kalau untuk novel, otakku nggak nyampe," jawab Andi.

Anto masih saja tersenyum melihat kegelisahan sahabatnya itu.

"Sebenarnya, membuat novel itu sama saja dengan membuat cerpen. Dalam masalah yang kamu hadapi, yaitu kebuntuan mengembangkan cerita, banyak sekali dialami oleh hampir semua penulis novel.

Aku pun juga pernah mengalami kebuntuan untuk mengembangkan cerita dalam novelku".

"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Andi memotong penjelasan Anto.

Meski dipotong, namun Anto tidak merasa tersinggung. Anto memang sangat memahami betapa frustasinya saat seorang penulis mengalami kebuntuan dalam membuat cerita.

"Apa yang kulakukan? Aku kemudian berpikir tentang selimut," jawab Anto sambil mengangkat telunjuknya sebagai isyarat agar Andi yang saat itu hendak bicara untuk diam dan tidak memotong penjelasannya.

"Kamu tahu selimut, kan? Kebanyakan selimut dibuat dari satu kain, hanya motifnya yang kemudian diramaikan. Tapi, ada juga selimut yang dibuat dari kain perca. Bentuknya tak kalah indah, dan menurutku cenderung lebih menarik. Begitu pun dengan menulis novel, kita bisa membuat selimut novel dengan berbagai perca cerita pendek. Semua tergantung dari kejelian kita dalam menjalin perca cerita itu hingga menjadi selimut novel yang menarik.

Trik seperti itu bisa dikatakan sebagai patchwork. Nah, apa keunggulan novel dengan gaya penulisan ala patchwork ini?

Keunggulannya banyak, yaitu novel kita akan lebih bervariasi isinya, karena cerita yang kita buat mempunyai multi konflik dan multi ending. Kemudian, karakter tokoh lebih banyak tergali dan tidak hanya sekedar tempelan dan tentu saja kita akan lebih mudah menggarapnya."

"Hmm...menarik juga untuk dicoba. Cuman aku masih meraba-raba untuk membuat cerita dengan gaya seperti itu," kata Andi.

"Oke. Kamu bisa menerapkan gaya patchwork ini dengan tahapan-tahapan. Yang pertama, buat kerangka dulu cerita yang akan dibuat untuk novel. Kedua, kumpulkan perca konflik, cerpen yang pernah kita buat bisa kita manfaatkan. Ketiga, pilih satu konflik yang paling menarik dan kuat, jadikan konflik ini sebagai benang merah. Keempat, buat pem-bab-an dengan baik. Misal 3-1. Dalam bab kita masukkan, satu 3 konflik. Satu konflik kita akhiri, satu konflik untuk bab berikutnya, satu lagi merupakan benang merah. Seterusnya perbab, hingga bab terakhir hanya satu bab yang kita tutup konfliknya.

Yang kelima, buat penokohan dengan sistem grup. Misalnya 5 sahabatnya di kantor, 4 sekawan kost, 4 sahabat sekelas, trio anggota band, dan lain-lain. Yang terakhir, langsung buka awal tulisan dengan konflik kecil," jelas Anto panjang lebar.

Manggut-manggut Andi mendengar penjelasan sahabatnya itu. Perlahan namun pasti, Andi mulai membenahi kembali lembar-lembar kertas diatas mejanya dan duduk diam menatap lurus ke arah kertas itu.

Anto yang melihat tingkah Andi jadi bengong. "Lho, kamu ngapain, Ndi, bukannya ngomong kok malah bengong. Kesambet baru tahu, lo."

Andi tidak menjawab dan tetap menatap kertas yang ada di depannya.

"Ndi, ngomong, dong. Ye... capek-capek njelasin malah dicuekin," Anto makin keras berteriak.

Akhirnya Andi menoleh ke arah Anto, itupun dilakukan dengan perlahan seperti gerakan lambat dalam sebuah film. Perlahan pula telunjuknya ditempelkan di bibirnya. "Sssst! Tolong jangan berisik. Aku sedang memikirkan konflik-konflik kecil yang akan aku rangkai menjadi konflik besar dalam novelku ini," kata Andi dengan mimik sok serius.

Sedikit kesal tapi juga ingin tertawa Anto melempar apa aja yang ada di dekatnya ke wajah Andi yang saat ini tampak mengesalkan baginya.