Kamis, 17 Januari 2008

31 Hak Anak

31 Hak Anak

Andi sekarang sudah mulai lumayan dalam membuat cerita anak. Namun, yang namanya manusia, terkadang bisa juga kehabisan ide atau tema cerita.

Seperti biasa, tempat Andi curhat dan diskusi adalah Anto, sahabat sekaligus guru dalam bidang kepenulisannya.

"Nto, aku lagi bingung, neh," kata Andi saat bertemu sahabatnya itu.

"Bingung apaan? Klo bingung pegangan pagar tuh, biar mantep," canda Anto.

"Ah, kamu ini, bercanda melulu. Aku serius nih," kata Andi lagi.

"Oke-oke, maaf, deh. Kamu lagi bingung apa Andi sayang," Anto masih terus bercanda, namun Andi sepertinya benar-benar serius sehingga tidak menganggap perkataan Anto sebagai canda. Andi terus melanjutkan keluh kesahnya.

"Aku lagi bingung. Aku sudah banyak menulis cerita pendek untuk anak. Tapi, kini aku kehabisan ide. Aku merasa bahwa semua ide atau tema sudah kutulis semua. Nah, kalau sudah begini, apa yang harus kutulis lagi?" tanya Andi.

"Ehm....sebenarnya, sebagai penulis kita tidak akan pernah kehabisan bahan untuk cerita. Banyak kejadian disekitar kita yang bisa kita jadikan bahan. Seperti yang pernah kukatakan, tidak harus cerita yang wah dan muluk-muluk, tapi bisa juga hanya dari peristiwa kehilangan sandal jepit, kita bisa membuatnya menjadi sebuah cerita yang menarik dan mempunyai pesan moral yang tinggi. Itu kalau kita mau. Tapi, sepertinya cara ini agak sulit bagi kamu.

Untuk itu, kamu mungkin bisa menulis berpatokan pada beberapa hak anak yang ada dalam Konvensi Hak Anak," jelas Anto yang jadi ketularan serius.

"Memang ada gitu, Konvensi Hak Anak?" Andi heran karena baru kali ini dia mendengar tentang konvensi hak anak.

"Ya ada lah, secara anak-anak yang harus kita lindungi gitu loh," jawab Anto sambil melanjutkan, "Makanya, kalau mau total dalam dunia kepenulisan anak-anak, kamu harus juga mau bekerja keras dan cerdas untuk memahami dunia mereka serta mempelajari apa saja yang berkaitan dengan dunia anak-anak.

Dalam Konvensi Hak Anak disebutkan sekitar 31 hak bagi anak, yaitu:
1. Hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang.
2. Hak untuk mendapatkan nama.
3. Hak untuk mendapatkan kewarganegaraan.
4. Hak untuk mendapatkan identitas.
5. Hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
6. Hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang paling tinggi.
7. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata.
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum.
9. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak.
10. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan.
11. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.
12. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak-anak.
13. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau masyarakat adat.
14. Hak untuk hidup dengan orang tua.
15. Hak untuk tetap berhubungan dengan orang tua bila dipisahkan dengan salah satu orang tua.
16. Hak untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan.
17. Hak untuk berekreasi.
18. Hak untuk bermain.
19. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya.
20. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang genting.
21. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi.
Hak untuk bebas beragama.
22. Hak untuk bebas berserikat.
23. Hak untuk bebas berkumpul secara damai.
24. Hak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber.
25. Hak untuk mendapatkan perlindungan pribadi.
26. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari siksaan.
27. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman dan perlakuan tidak manusiawi.
28. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penangkapan yang sewenang-wenang.
29. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan.
30. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.


Jadi, dari 31 Hak Anak tadi, kamu bisa mulai lagi membuat cerita anak yang lebih bagus, fokus dan sarat pesan moral. Ok?!"

Andi manggut-manggut kayak ayam matukin beras dan dalam hati berjanji akan membuat cerita bagi anak yang lebih bagus dan bermakna.

Rabu, 02 Januari 2008

Donasi untuk Blog ini Melalui Paypal

Judul Mbejundul

Anto datang berkunjung ke rumah Andi pada suatu sore. Saat masuk ke pekarangan rumah Andi, Anto melihat sahabatnya itu tengah membaca sambil mengerutkan dahi seperti orang yang sedang berpikir keras.

"Andi, ngapain dahi kamu berkerut begitu, ntar cepet tua lho!" canda Anto.

"Eh, kamu To. Kebetulan kamu datang. Aku lagi kebingungan nih, lagi cari judul yang pas untuk cerita yang baru saja kuselesaikan," kata Andi yang jelas sekali terlihat lega saat melihat kedatangan Anto, yang dikenalnya sebagai seorang penulis.

"Emang, kamu bingung dimananya? Judul itukan tinggal disesuaikan dengan ceritanya," Anto memberi sedikit penjelasan.

"Awalnya aku memang sudah menentukan judulnya, tapi setelah kubaca-baca, kok sepertinya judul itu kurang bombastis, jadinya berkali-kali aku menggantinya, tapi tetap saja belum sreg di hati," keluh Andi.

"Sebenarnya, memberi judul pada sebuah cerita itu gampang-gampang susah. Tidak semua judul harus bombastis dan berlebih-lebihan yang penting judul itu telah mewakili keseluruhan cerita yang ada, itu saja sudah cukup," Anto menerangkan mengenai pemberian judul pada Andi dan melanjutkan dengan penjelasan yang lain.

"Menurutku, kamu nggak perlu bingung atau sampai pusing dengan judul. Kalau kamu sudah punya ide, tulis aja dulu menjadi cerita. Adakalanya judul itu akan diganti oleh redaktur di sebuah penerbitan. Jadi, sah-sah aja kita beri judul apapun, karena nanti redaktur akan melihat kembali dan bila perlu dia akan mengganti judul yang kita berikan dengan judul yang menurutnya lebih pas. Memang kadang terasa menyakitkan, karena apa yang sudah kita kerjakan dengan baik lantas diganti oleh redaktur, tapi...ya, begitulah adanya. Redaktur mempunyai wewenang penuh akan hal itu.

Tapi, jika kamu memang ngotot untuk mempertahankan judul yang kamu beri, ada beberapa trik yang mudah diikuti. Contohnya; Judul yang didasarkan atas nama tokoh cerita, seperti Harry Potter and the Chamber of Stone, Wiro Sableng, Si Buta dari Gua Hantu, Abunawas dan sebagainya.

Bisa juga dengan berdasarkan pada benda yang menjadi obyek cerita, seperti Kaus Kaki Ajaib, Pensil Ajaib, Bendi Keramat, Misteri Wayang Titi dan lain sebagainya.

Selain itu, bisa juga judul kita ambil dari percakapan di dalam cerita, seperti Maafkan Nino, Ma...!, Ada Hantu, Awas, Ini Rahasia! dan lain sebagainya.

Juga bisa judul diambil dari pesan cerita yang kita berikan. Hal ini dapat kita lakukan apabila kita ingin membantu pembaca mengambil pesan dari cerita yang kita buat. Beberapa contoh judul dalam kategori ini adalah Menunda Itu Masalah, Jera Membolos, Kalau Saja Terus Terang, Pamrih dan lain sebagainya.

Itu tadi contoh-contoh judul yang pernah aku temui dan aku baca," kata Anto.

"Aku sudah bisa menangkap apa yang kamu jelaskan barusan. Tapi, kalau aku tetap ingin menggunakan judul yang aku pilih sendiri apakah itu salah?" tanya Andi kembali.

"Bukannya salah apabila kamu tetap ingin menggunakan judul yang kamu pilih. Tapi, ingat juga bahwa kita ini hidup bersosialisasi. Naskah kamu nanti akan kamu kirim ke penerbit dan di sana ada redaktur yang menyaring dan berhak menentukan perubahan apapun pada naskah kamu termasuk judul. Meski perubahan itu masih bisa dikompromikan tapi itulah wewenang redaktur, jadi apa yang menurut kita bagus belum tentu bagus menurut orang lain.

Kita harus berani menerima kritik dan saran dari orang lain untuk lebih meningkatkan kualitas karya kita. Jangan antipati dan menjadi marah apabila ada orang yang mengkritik karya kita," kata Anto panjang lebar.

"Sebagai penulis kita pun bisa berkreasi apa saja untuk menentukan judul. Jangan ragu untuk memodifikasi suatu judul yang populer, misalnya, Si Doel Anak Betawi, lalu kita ingin membuat cerita dengan judul modifikasi, Si Doel Bukan Anak Betawi, itu boleh-boleh saja, asal isi ceritanya bukan memodifikasi yang sudah ada.

Cara yang lain untuk menarik pembaca adalah dengan menggunakan judul yang berirama," kata Anto yang langsung dipotong oleh Andi. "Emang judulnya harus dilagukan, ya?"

"Bukan dilagukan tapi berirama, makanya kalau ada orang ngomong itu jangan dipotong, tapi dengerin dulu biar orang selesai ngomong kamu bisa ngerti," Anto jadi sewot melihat sahabatnya yang rada-rada gimana, gitu. Akhirnya, Anto melanjutkan, "Judul yang berirama itu misalnya, Gara-Gara Agar-Agar, Cimut si Semut, Galang sang Elang dan lain sebagainya."

"Oke-oke, panjang lebar kamu jelaskan aku juga dah ngerti kok, tapi aku kan penulisnya, jadi aku tetap ingin judulku yang dipakai, toh aku yang bikin cerita," Andi tetap ngotot dengan pendiriannya.

"Ya, sudah terserah kamu. Tapi kamu juga harus sadar siapa sih kamu? Apa karyamu sudah banyak bertebaran di media cetak? Kita boleh aja ngotot dan mempertahankan pendapat kita, tapi jangan sampai berani babi, apapun diterobos walau kepala sendiri jadi hancur. Kita harus bisa fleksibel dan tidak kaku dalam menyikapi segala sesuatu.

Kalau misalnya kamu sudah menjadi penulis terkenal, judul apapun yang kamu pasang, orang juga tetap akan membaca cerita kamu, karena kualitasnya sudah diakui, gitu lo. Jadi, JANGAN GILA DONG!," kata Anto menirukan gaya Ivan Gunawan di acara MamaSelebShow di Indosiar.


Powered by ScribeFire.

Pesan Moral dalam Cerpen Anak-Anak

"Anto, aku baru saja selesai menulis cerpen nih," ujar Andi sambil menyodorkan tiga lembar kertas ukuran kuarto pada Anto.

Anto mengambil kertas itu dan terdiam sejenak membaca deretan-deretan tulisan yang dihasilkan Andi. Beberapa saat kemudian, Anto mengembalikan kertas itu sambil manggut-manggut. Andi yang melihat tingkah laku Anto akhirnya bertanya.

"Kenapa kamu manggut-manggut, begitu?"

"Loh, emang nggak boleh aku manggut-manggut," Anto balik bertanya.

"Ya, nggak pa-pa. Cuman kesannya kamu seperti melecehkan hasil karyaku," kata Andi agak ketus karena tersinggung.

"Oh, maaf deh. Bukannya melecehkan, aku hanya merasa bahwa cerpen yang kamu buat itu terkesan menggurui banget," jelas Anto.

"Maksudnya?" Andi terus mengejar dengan pertanyaan.

"Iya, aku baca disitu kamu menceritakan seorang anak sekolah dasar yang berceramah mengenai narkoba kepada teman-temannya. Padahal anak itu baru kelas dua SD," jawab Anto.

"Apa salahnya kalo anak kelas 2 SD ceramah soal narkoba? Toh itu sah-sah aja, kan?" Andi menjawab tak mau kalah.

"Justru disitu salahnya. Kamu mesti hati-hati menempatkan seorang anak yang tiba-tiba menjadi "pintar" dan sok tahu. Seorang anak mestinya tidak bertindak seperti tokoh dalam cerpenmu.

Menurutku, alangkah lebih baik apabila jalan ceritanya diubah menjadi sebuah kejadian yang membuat sadar para pengguna narkoba itu tanpa harus ada kalimat-kalimat menggurui dan menceramahi.

Saat ini, anak-anak sudah tidak bisa lagi diberi pola ceramah. Akan lebih mengena apabila mereka membaca sebuah cerita yang mendidik dan mempunyai hikmah.

Tak perlu kata-kata, cukup berikan sebuah akibat akan kesalahan tindakan mereka, kurasa itu lebih mengena," jelas Anto panjang lebar.

"Aku masih belum mengerti," kata Andi terus terang.

"Begini. Aku pernah membaca tulisan Benny Rhamdani, seorang penulis cerita anak-anak. Dalam tulisannya mengenai pesan moral dalam cerita anak disebutkan bahwa pesan moral dalam sebuah cerita sebaiknya tidak berupa dialog nasehat dari tokoh keseharian yang memang sudah sering menasehati. Cerita model "kena batunya", akan lebih mengena untuk menyisipkan pesan moral, ketimbang nasehat panjang.

Kemudian, pesan moral yang diberikan sebaiknya jangan mengulang yang sudah sering disampaikan. Seperti jangan membolos, jangan mencuri dan sebagainya. Anak-anak yang membaca cerita ini tidak akan tertarik membacanya. Mencari pesan moral berdasarkan penggalian terhadap pengalaman pribadi. Coba ingat-ingat, pasti banyak yang bisa dipakai sebagai bahan cerita. Contohnya, doa buruk terhadap guru agar sakit sehingga lepas dari rencana ulangan besok.

Selain itu, kita juga harus berhati-hati dengan tokoh anak-anak yang tiba-tib jadi serba tahu dan 'sok tua'. Kecuali kalau memang itu sudah jadi karakter yang membangun cerita.

Dan yang terakhir, dalam memberi nasehat, efek ganjaran seperti menakut-nakuti memang sering mengena. Namun sebaiknya juga jangan terlalu berlebihan. Misalnya, karena sekali mencuri, seorang tokoh kemudian tangannya buntung. Hal itu, kan, sadis banget dan menimbulkan efek negatif pada anak-anak.

Gimana, jelas, kan?" tanya Anto mengakhiri penjelasannya.

"Sepertinya aku bisa memahami apa yang kamu jelasin barusan. Jadi, selama ini apa yang kamu lakukan dan kamu jelaskan padaku bersumber pada tulisan-tulisan Benny Rhamdani ini?" tanya Andi.

"Ya, iya lah. Selain dari dia, ada juga dari referensi lain. Makanya, sering baca dan ikutan milis dong biar berkembang pengetahuanmu," kata Anto.


Powered by ScribeFire.

Deskripsi dalam Cerpen

Melihat cerpen anak-anak yang dikirimnya dimuat, Andi segera berlari ke rumah Anto untuk memamerkannya.

"Anto....Anto.....!! Teriak Andi mulai dari rumahnya hingga ke rumah Anto (Bayangin aja, jarak rumah Andi ke rumah Anto sekitar 450 meter dan sepanjang perjalanan, Andi terus menerus meneriakkan nama Anto, Gokil kali ya si Andi ini).

"Ada apaan sih, teriak-teriak kayak tentara mau lapor perang aja," kata Anto yang malu karena hampir semua tetangganya keluar untuk melihat kehebohan yang dilakukan Andi.

"Ah, peduli amat, yang penting sekarang aku lagi bahagia. Nih lihat!" kata Andi sambil menyodorkan sebuah majalah ternama yang memuat cerpen anak-anaknya.

Setelah membaca beberapa saat, Anto mengembalikan kembali majalah ituu kepada Andi. "Wah selamat, ya. Cerpen mu akhirnya dimuat. Traktir aku dong," kata Anto sambil menyalami sahabatnya itu.

"Heeh, ntar kutraktir deh kalau duitnya dah cair. Tapi sekalian aku mau tanya deh. Aku kan membuat cerita dengan deskripsi yang kurasa sudah sangat jelas, tapi kenapa ilustrasi cerpenku berbeda dengan yang kubayangkan, ya?" tanya Andi pada Anto.

Sebelum menjawab, Anto kembali meminjam majalah yang tadi dibawa Andi. "Kejadian seperti ini memang sering terjadi. Akupun juga pernah mengalami beberapa kali ilustrasi cerpenku tidak sesuai dengan yang kudeskripsikan dalam cerita."

"Oh..kamu juga pernah mengalaminya to. Apakah kamu merasa kecewa?" tanya Andi.

"Kecewa? Tentu saja aku kecewa. Dalam cerita itu aku juga mendeskripsikan dengan sangat jelas, namun tetap saja ilustrasi yang dibuat tidak sesuai dengan deskripsi yang kuberikan.

Oleh karena itu, sekarang aku berusaha menghindari penulisan deskripsi yang berlebihan. Biasanya saya tulis yang universal. Dalam cerita pendek, hal ini dapat dengan mudah kita akali. Tapi, kalau menulis novel/novelet, mungkin untuk lebih membuat padat tulisan, kita akan lebih sering bermain dalam deskripsi ini.

Coba deh tanya pada anak-anak, apakah mereka menyukai penulisan deskripsi yang terlalu panjang dan jelas pada cerita kita? Hal ini bisa membantu kita dalam menulis sebuah cerita yang akan lebih diminati oleh anak-anak. Biasanya, anak-anak kurang menyukai penulisan deskripsi yang terlalu panjang, kecuali kita bisa memilih kata-kata yang mengundang minat untuk membacanya, itu lain soal.

Terus, kalau mau mendeskripsikan sesuatu, pikirkan bahwa deskripsi itu memang sesuatu hal yang penting. Misalnya, pasar, mall, toko atau jalan raya, kurasa tak perlu dideskripsikan, karena semua orang pasti sudah tahu bagaimana keadaan dan kondisi tempat-tempat yang kusebutkan tadi. Lain halnya, apabila kita ingin menjelaskan bentuk rumah di planet Pluto atau binatang-binatang yang ada di planet Mars," jelas Anto pada Andi panjang lebar.

"Oke deh. Aku makin paham sekarang. Gimana kalau kita makan bakso sembari kamu berbagi ilmu kepadaku mengenai tips dan trik menulis yang lain?" ajak Andi.

"Kalau untuk berbagai ilmu, aku nggak pernah minta bayaran. Tapi kalau ditawarin bakso aku juga nggak pernah menolak. Ente Jual Ane Beli deh pokoknya," jawab Anto sambil tertawa-tawa.

Akhirnya kedua sahabat itu berjalan menuju warung Bakso langganan mereka.


Powered by ScribeFire.