Selasa, 04 November 2008

MTM (2)

Melanjutkan percakapan mereka pada hari sebelumnya, Anto memberikan beberapa poin tentang pembelajaran menulis mereka selama ini.

"Selanjutnya, yang mesti kamu perhatikan dalam menulis cerita anak-anak adalah pemilihan setting atau lokasi," kata Anto mengawali pembicaraan mereka.

"Ya, itu aku masih sedikit mengingatnya. Pemilihan setting atau lokasi itu sendiri mesti kita sesuaikan dengan tema cerita, kan?" tanya Andi menegaskan.

"Ya.. iyalah. Dan untuk itu, kamu juga mesti memahami deskripsi dalam cerpen serta jangan lupakan Pesan moral dalam cerita untuk anak-anak itu yang harus kita sisipkan, sehingga cerita yang kita buat lebih sarat ilmu dan pendidikan bagi generasi muda kita, bukan hanya cerita yang bersenang-senang saja," tandas Anto.

Minggu, 02 November 2008

MTM (Mengulang Tentang Menulis)

Sudah sangat lama sekali Anto dan Andi tidak bersua. Saat berjumpa, hal pertama yang ditanyakan oleh Andi adalah mengenai MENULIS!

"Waduh, mbok yao tanya yang lain dulu. Tanya kabar, kek, apa kek gitu. Ini kok langsung tanya soal menulis. Emangnya nggak ada pertanyaan lain apa?" protes Anto sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

"Ya... aku sih udah tahu kabar kamu baik-baik saja," jawab Andi pendek.

"Lho, tahu dari mana?" Anto kali ini kebingungan dan berpikir selama tidak bertemu, mungkin Andi telah belajar ilmu meramal.

"Fakta! Bahwa kamu berdiri di sini dan tidak kurang suatu apa, hal itu menandakan bahwa kamu dalam keadaan sehat wallafiat kan?!" jawab Andi lugas yang membuat Anto tersenyum sendiri.

"Trus apa yang mau kamu tanyakan soal menulis, bukankah sudah banyak kamu mencatat apa yang sudah kita bicarakan selama ini?" tanya Anto lagi.

"Iya, tapi ada beberapa lembar catatan awal gua menghilang," kata Andi memberi alasan.

"Makanya kalau punya catatan penting itu disimpan yang rapi, biar nggak ilang," sungut Anto.

"Yee.. aku sih menyimpan dengan baik, cuman kemaren orangtuaku kekurangan kertas buat bungkus barang dagangannya, dan tanpa tanya kepadaku, dia langsung mengambil tumpukan kertas milikku untuk dijadikan bungkus," jawab Andi dengan nada kesal.

Anto yang mendengar jawaban Andi langsung terpingkal-pingkal. "Oke deh. Aku kasih rambu-rambu aja, ya".

"Rambu Lalu Lintas?" tanya Andi polos.

"Bukan rambu itu, tapi sekedar kata kunci untuk mengingatkan kamu tentang latihan menulis kita terdahulu," tukas Anto sambil melanjutkan, "Yang pertama, seingatku kita membahas tentang Menemukan Ide, kemudian Dongeng 'Cerita Tanpa Batas', lalu Menulis Ulang, Menerjemahkan, Mengadaptasi dan Karya Sendiri. Yang lainnya nanti aku ingat-ingat lagi, sekarang cukup itu dulu, ya".

"Huuu...dasar pelit!" kata Andi tapi dengan rasa terima kasih karena dibantu mengingat latihan-latihan awal mereka menulis dulu.

Kamis, 24 Juli 2008

Alternatif Pencarian Ide 2

Anto dan Andi tengah jalan-jalan di alun-alun saat mata Andi tertuju pada pedagang koran dan majalah yang mangkal di pinggir jalan.

"Nto, kita ke pedagang koran itu, yuk?" ajak Andi sambil berjalan mendahului. Sedangkan Anto hanya mengangguk menjawab ajakan sahabatnya itu.

Sesampainya di pedagang tersebut, Andi melihat-lihat sejenak tumpukan koran dan majalah. Kemudian, tangannya mengambil majalah anak-anak terbitan ibu kota yang sudah terkenal dan membelinya.

Kedua sahabat itu kemudian melanjutkan jalan-jalan di alun-alun untuk menikmati suasana sore menjelang malam. Anto sempat membeli kacang rebus untuk menemani mereka ngobrol sambil duduk di bangku yang tersedia di alun-alun.

Sementara itu, Andi membolak-balik dan membaca beberapa cerita anak yang ada dalam majalah itu.

"Eh, To, kenapa aku baca dari tadi nggak ada pesan moral dalam cerita anak ini, ya?" tiba-tiba Andi membuka pembicaraan.

"Maksud kamu, pesan moral yang kayak apa?" jawab Anto balas bertanya sambil mengambil majalah anak-anak itu dari tangan Andi.

"Biasanya, kan, dalam sebuah cerita harus ada pesan moral seperti jangan membolos, jangan mencuri jambu tetangga, jangan menyontek dan sebagainya," jawab Andi.

"Oh... itu sih udah ketinggalan jaman, Ndi. Sekarang kita sebagai penulis harus mempunyai daya kreatifitas tinggi. Jangan hanya mengekor format yang sudah ada sejak jaman Unyil dan Pak Raden," kata Anto sambil melanjutkan, "Jaman sekarang sudah berubah. Begitu juga dengan psikologi anak-anak."

Andi yang mendengar kata-kata Anto hanya mencibirkan mulutnya. "Huuuu sok tahu kamu."

"Bukannya sok tahu, tapi sebagai penulis, kita harus dapat menciptakan trend baru bagi pembaca kita. Cobalah menulis apa saja yang pernah kamu alami dengan gaya bertutur yang lebih ringan. Syukur kalau kamu bisa membuat cerita yang kocak. Nggak ada pesan moral juga nggak pa-pa, malah buat aja cerita yang mengkritik orang dewasa. Jangan hanya menasehati dan menggurui melulu," kata Anto.

"Wah, benar-benar sok tahu kamu. Aku saja baru pertama kali ini membaca cerita anak model begini, kok kamu sudah bisa bicara panjang lebar tentang format cerita anak yang baru," kata Andi meragukan kata-kata Anto.

Sambil tersenyum Anto kembali menyerahkan majalah anak-anak itu pada Andi, "Nah, baca dulu siapa penulis cerita yang kamu baca itu baru kamu tahu apa yang aku katakan benar atau tidak," kata Anto sambil menunjuk nama penulis yang tertera di cerita tersebut.

Dengan kaget Andi membaca nama penulisnya: A N T O.

Rabu, 02 Juli 2008

Alternatif Pencarian Ide untuk Cerita

Lebih dari satu bulan Andi dan Anto tak bersua. Sebagai seorang sahabat, Andi sangat kangen pada temannya itu sehingga hari ini dia pergi untuk mengunjungi sahabat karibnya tersebut.

Seperti biasanya juga, selain kangen, Andi juga membawa misi untuk mengorek ilmu Anto mengenai tulis menulis.

Sesampainya di rumah Anto, kebetulan Anto sedang memandikan Si Bagong, burung kesayangannya. "Woi, dah rubah haluan jadi pedagang burung, nih?" kata Andi menyapa sahabatnya.

Karena kaget, Anto yang lagi nyemprot si Bagong memutar tubuhnya ke belakang. Tapi karena memegang selang, maka arah semprotan selang yang tadinya ke tubuh si Bagong, jadi berubah menyemprot tubuh Andi.

Terang aja Andi mencak-mencak mengeluarkan ginkang (ilmu ringan tubuh)-nya. Tapi dasar emang nggak punya ilmu meringankan tubuh, maka sebagian bajunya sudah kena semprot air duluan.

"Sory, Ndi... sorry. Habis kamu ngageting aja, sih," kata Anto sembari meminta maaf dan mematikan aliran air.

"Tumben, ada apa nih?" tanya Anto sambil memberikan handuk untuk mengeringkan tubuh Andi.

Andi menyambut handuk itu sambil tetap manyun. "Tadinya aku kangen sama kamu, tapi sekarang aku jadi males. Soalnya, bukan di kasih air minum malah disuruh mandi," jawab Andi.

"Aku kan sudah minta maaf. Ayo duduk sini," kata Anto mempersilahkan sahabatnya itu untuk duduk di kursi yang ada di teras rumah.

Setelah duduk dan meminum teh hangat, Andi kemudian menceritakan masalah pokoknya selain rasa kangen terhadap Anto.

Andi merasa sudah mulai bisa menulis, terbukti dengan beberapa hasil karyanya dan pernah memenangkan sebuah lomba penulisan cerita pendek di sebuah majalah ibu kota.

Namun, saat ini, Andi mengalami kesulitan mencari ide-ide segar.

Setelah mendengar, Anto tiba-tiba berkata, "Aku mau pergi."

Andi yang baru saja meminum teh hangatnya langsung menyemburkannya karena kaget. "Bruah!"

Ganti Anto sekarang yang harus jumpalitan menghindari semburan air teh hangat dari mulut Andi. "Gila, loe, ya" teriak Anto.

"Kamu yang gila," balas Andi nggak mau kalah. "Masa' aku minta bantuan, kamu malah mau pergi."

"Lha, kan itu tadi sudah aku bantu," balas Anto sengit.

"Bantu apaan?" tanya Andi nggak ngerti.

"Aku mau pergi. Itu kalimat bantuan dari aku. Tinggal kamu sendiri yang harus bisa ngembangin," kata Anto.

"Aku masih belum ngerti," kata Andi.

Terpaksa Anto menjelaskan mengenai beberapa metode alternatif mencari ide. "Dalam mencari ide, kita tidak harus menyendiri atau pergi ke tempat-tempat sepi. Tapi ada juga beberapa alternatif untuk mencari ide yang sederhana tapi sangat manjur. Di antaranya:

1. Metode Daftar Kata

Metode ini bisa diterapkan dengan mengambil kata secara acak dari buku atau kamus. Kalau memungkinkan, minta teman yang memilihkan.

Buatlah daftar kata yang harus dimuat cerita itu sekitar 8-10 kata. Contohnya, hutan, harimau, pohon, tertawa, rumah.

Nah, kata-kata itu tidak saling berhubungan, jadi asyiknya ya merangkai cerita agar kata-kata tersebut ada semua.

2. Metode First Line

Ambil kalimat pertama dari buku manapun, tapi yang belum dibaca atau minta bikinin kalimat sama teman, dan coba kamu karang sendiri lanjutannya.

Metode kedua inilah yang aku berikan padamu tadi.

3. Metode Judul

Seperti metode kedua, kamu bisa lihat-lihat judul buku di perpustakaan atau toko buku. Coba tulis cerita berdasarkan judul yang menarik perhatian tanpa tahu isinya terlebih dahulu.

Nah, dari tiga metode ini, coba kamu pilih salah satu atau gabungkan ketiga metode tersebut untuk mendapatkan ide bagi naskah ceritamu. Mudah-mudahan berhasil," jelas Anto panjang lebar.

Setelah mengerti, Andi jadi tersenyum dan ganti dia yang minta maaf sama Anto.

"Memang nggak pernah rugi aku main ke rumahmu, Nto," kata Andi pada sahabatnya sambil tersenyum.

"Itulah gunanya teman," jawab Anto sambil menepuk pundak sahabat tercintanya itu dan mereka pun meneruskan menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng kegemaran mereka berdua yang baru dibeli saat Mak Ijah lewat.

Jumat, 30 Mei 2008

Warna Ceria pada Buku Anak

Menjadi seorang penulis buku anak dirasakan banyak penulis sebagai hal yang sulit. Hal ini, ternyata juga dialami oleh Andi yang memang menulis apapun akan merasa kesulitan he..he..he...

Hari ini, Andi kembali mengunjungi Anto, sahabatnya, untuk bertanya mengenai masalah buku anak.

Sesampainya di rumah Anto, Andi langsung saja menyodorkan naskah cerita anak yang baru saja ditulisnya.

"Tolong liatin dong, Nto!" kata Andi pada sahabatnya yang juga tengah menulis sebuah naskah pesanan salah satu tabloid anak-anak.

"Ini naskah baru atau naskah lama?" tanya Anto tanpa memegang naskah Andi sama sekali.

"Naskah baru dong!" sambar Andi.

"Bagus atau lumayan atau kurang bagus atau bahkan jelek?" tanya Anto lagi tetap tanpa menyentuh naskah Andi.

"Pasti bagus!" yakin Andi pada Anto.

"Kalau pasti bagus, ya sudah, kirim aja. Nggak usah tanya pendapatku," celetuk Anto sekenanya.

"Yeee...dimintai tolong temen kok pelit banget sih!" protes Andi dengan nada kesel.

Bayangin aja! (harus bener-bener dibayangin, ya)

Waktu berangkat daari rumahnya menuju rumah Anto saja, perjalanan Andi penuh perjuangan. Baru sampai di depan gang rumahnya, Andi melihat Bang Joni (nama aslinya sih Yono, tapi karena lama di Jakarta dia rubah namanya jadi Joni. Kenapa bukan Yoni? Ya...klo Yoni kan kalah keren. Tapi Joni....wah nama orang gedongan tuh!)

Nah, pas melihat Bang Joni si tukang kredit itu, Andi langsung saja balik lagi ke rumahnya dan ngumpet sampe Bang Joni yang manggil-manggil namanya bosen dan meninggalkan rumahnya. Nggak perlu dong dikasih tahu alasan kenapa Andi harus kabur dari Bang Joni.

Yang kedua yang harus dialami Andi adalah begitu lolos di gang pertama, Andi masih harus bertemu dengan Juminten yang jualan jamu. Melihat Juminten yang agak-agak centil ini, Andi pun harus ngumpet di balik pohon sawo milik Pak Haji Safii. Baru setelah Juminten lewat, Andi buru-buru lari menuju rumah Andi.

Klo masalah, Juminten, sebenarnya, Andi nggak punya utang meski sering minum jamu tanpa bayar. Masalahnya adalah Andi udah kadung janji akan nikahin Juminten sejak Lebaran tiga tahun lalu. Nah itulah yang bikin Andi jadi malu hati klo harus ketemu sama Juminten.

Sedang perjuangan ketiga adalah Anjing milik Baba Liong. Anjing ini sebenarnya bukan anjing pengganggu. Tapi setiap kali Andi yang punya badan kurus kerempeng mirip tengkorak berjalan itu lewat di depan hidungnya, Anjing yang punya nama keren "Boy" ini selalu dengan semangat 45 berlari mengejar Andi. Kontan saja, Andi harus pontang-panting lari menyelamatkan diri sampai-sampai sandal jepitnya putus.

Setelah berhasil melewati tiga rintangan menuju rumah Anto, akhirnya Andi berhasil menyentuh gagang pintu rumah Anto dan kejadian selanjutnya pasti sudah pembaca ketahui bersama seperti yang sudah diceritakan di paragraf awal.

"Nah, jadi gimana?" tanya Andi lagi.

"Apanya yang gimana?" Anto balas bertanya.

"Makanya, dilihat dulu dong naskahku. Jangan cuman tanya-tanya melulu," Andi memprotes.

Sekilas Anto akhirnya membaca naskah yang disodorkan sahabatnya itu. Beberapa saat kemudian, Anto berkata, "Beberapa kali aku membaca karya penulis asing untuk menambah pengetahuanku dalam menulis cerita anak.

Karena keterbatasan pemahaman linguistik anak-anak, saat menulis cerita anak kadang kita tak leluasa membuat gaya bahasa seperti layaknya karya sastra untuk orang dewasa.

Oleh karena itu, pemilihan kata untuk anak mesti diperhatikan, sehingga kesederhanaan kalimat sering kita tampilkan. Tapi, kesederhanaan yang kamu buat juga mesti berbobot.

Aku pernah membaca beberapa tips dan trik yang bisa digunakan untuk memberikan "warna" pada buku cerita anak.

Yang pertama adalah membuat perumpamaan dengan kacamata anak-anak. Contohnya, Rida paling tidak suka melihat Tante Lina berpakaian. Tempo hari, Tante Lina sangat mirip terong raksasa yang bisa berjalan. Dari topi sampai sepatunya berwarna ungu tua. Iiiiii, padahal Rida paling malas melihat yang namanya terong.

Bisa kamu bayangin, kan gimana terong ungu berjalan?

Atau contoh lainnya, kamu bisa bikin kalimat seperti ini, Muka Doni pucat. Tiwi langsung ingat udang goreng yang disediakan ibu semalam di meja makan.

Atau yang lain seperti ini. Andi bertubuh kurus. Kurus sekali hingga disangka tengkorak jalan-jalan. Kalo orang menertawakan Andi karena mirip tengkorak, maka Anjing seringkali mengejarnya karena disangka tulang yang siap untuk dimakan," jelas Anto pelan-pelan.

"Wooooi!! Nggak usah pakai fisik dong. Gue emang kurus, tapi jangan dipakai untuk contoh!" protes Andi yang nggak terima fisiknya dijadikan bahan omongan.

"Lho...kan aku ngasih contoh nyata biar kamu lebih mengerti," Anto pun membela diri.

"Ya, udah nggak usah pakai fisik deh sekarang. Trus apalagi yang bisa kamu jelaskan?" tanya Andi akhirnya.

"Oke. Yang kedua adalah mendefinisikan istilah dengan polos. Contohnya aku ambilkan dari buku Konrad.

Kak Wita tadi bercerita soal pelajaran barunya di kelas pada Ibu.
Katanya, ada pelajaran tentang akar-akaran. Tapi yang kudengar bukan akar tumbuhan, tapi akar angka. Katanya, akar 16 itu 4, akar 100 itu 10. Aku bingung. Kalau akar sejuta mungkin pohonnya besar sekali.

Atau Lo bisa ambil contoh yang lain. Tentang Paparazi misalnya. Kamu bisa bikin dialog seperti,

Paparazi itu siapa sih, Oom? Pasti Indo ya? Namanya aneh. Trus, istrinya dipanggil Mama Razi, ya?

Nah, hal-hal seperti itu yang mungkin bisa menambah 'warna' pada naskah atau buku anak-anak kamu.

Senin, 26 Mei 2008

Young Adult

Memahami Genre Buku Cerita Anak #8

Young Adult

"Wah, leganya!" kata Anto.

"Gimana, nih? Ada nggak genre lain lagi?" tanya Andi.

"Masih ada, dong! Ini yang terakhir dan habis ini elo boleh langsung praktek atau langsung pulang terserah elo!" kata Anto.

"OKe! Genre yang terakhir adalah Young Adult!" teriak Anto sambil senyam-senyum melihat Andi yang melotot padanya karena tebakan asal-asalannya disebut sebagai genre terakhir oleh Anto.

"Young Adult ini adalah genre untuk anak usia 12 tahun ke atas. Panjang naskahnya antara 130 sampai 200 halaman.

Plot ceritanya bisa sangat "ruwet" dengan banyak karakter utama, meskipun tetap ada satu karakter yang difokuskan.

Tema-tema yang diangkat seringnya relevan dengan kehidupan remaja saat ini. Buku The Outsiders karta S.E. Hinton menjadi tonggak sejarah buku cerita anak di genre ini yang menceritakan permasalahan remaja saat itu ketika pertama kali diterbitkan pada tahun 1967.

Kategori new-age untuk usia 10 hingga 14 tahun juga perlu diperhatikan, terutama untuk buku-buku kelompok nonfiksi remaja.

Buku-buku di kelompok ini sedikit lebih pendek dibanding untuk kelompok usia 12 tahun ke atas, serta topik yang biasa diambil adalah fiksi dan nonfiksi itu lebih cocok untuk anak-anak yang telah melewati buku genre middle grade, tetapi belum siap membaca buku-buku fiksi atau belum mempelajari subjek nonfiksi yang materinya fitujukan untuk pembaca di kelas sekolah menengah.

Begitu. Nah, sekarang terserah deh kamu mau ngapain," kata Anto pada sahabatnya yang kelihatan mringas-mringis itu.

"A...a..aku.....aku mau nge-bom!!" teriak Andi yang langsung melesat secepat kilat menuju kamar mandi untuk nge-bom alias BAB.

"Dasar JOROK!!!!!!" teriak Anto.

Kamis, 22 Mei 2008

Middle Grade

Memahami Genre Buku Cerita Anak #7

Middle Grade

Setelah seteko kopi panas tersaji di atas meja, Anto mulai melanjutkan lagi penjelasannya tentang kopi..eh, sori tentang genre buku.

"Setelah beberapa genre buku yang sudah aku jelasin, masih ada jenis genre buku yang lain. Yaitu Middle Grade.

Genre ini untuk anak usia 8 sampai 12 tahun yang merupakan usia emas anak dalam membaca. Naskahnya lebih panjang, sekitar 100 sampai 150 halaman deh.

Ceritanya juga mulai kompleks juga, sama dengan Chapter Books. Di Middle Grade ini bagian-bagian sub-plot menampilkan banyak karakter tambahan yang berperan penting dalam jalinan cerita dan tema-temanya cukup modern.

Anak-anak di usia ini biasanya mulai tertarik dan mengidolakan karakter dalam cerita. Hal ini menjelaskan keberhasilan beberapa seri petualangan yang terdiri dari 20 atau lebih buku dengan tokoh yang sama.

Kelompok fiksinya beragam mulai dari fiksi kontemporer, sejaran, hingga sience-fiction atau petualangan fantasi. Sementara yang masuk kelompok nonfiksi antara lain biografi, iptek, dan topik-topik multibudaya."

"Tunggu," kata Andi, "Makin ke sini, kok makin aneh dan ribet genrenya? Ntar lama-lama bakal ada genre Young Adult segala".

"Ya...genre buku itu kan disesuaikan dengan genre atau tingkatan dan untuk siapa pembacanya, makanya.....hop!" teriak Anto yang melihat Andi mau menyela omongannya lagi.

"Ntar kita lanjutin, sekarang gantian gua yang mau pipis," kata Anto sambil langsung lari ke kamar mandi.

bersambung....

Senin, 12 Mei 2008

Chapter Books

Memahami Genre Buku Cerita Anak #6

Chapter Books


Setelah selesai mengeluarkan persediaan pipis di kantong kemihnya, Andi duduk kembali dan makan pisang goreng di atas meja (lho..bukannya pisang gorengnya dah habis di cerita ketiga? Kok sekarang nongol lagi? Tenang aja, soalnya, waktu Andi pipis, ada tukang gorengan lewat dan Anto membeli beberapa pisang goreng untuk menemani mereka ngobrol).

"Eh. elo nggak nanya dari mana pisang goreng yang barusan elo makan?" tanya Anto.

"Nggak perlu, ah! Kan, pembaca dah pada tahu sendiri. Barusan baca penjelasannya, kan?" jawab Andi sekenanya. "Udah deh lanjutin soal genre buku ini".

"Genre buku selanjutnya," kata Anto membuka penjelasannya kembali. "Adalah Chapter Books. Buku ini diperuntukkan bagi anak usia 7 hingga 10 tahun, terdiri dari naskah setebal 45-60 halaman yang dibagi dalam tiga hingga empat halaman per bab.

Kisahnya lebih padat dibanding genre transition books, walaupun tetap memakai banyak ramuan aksi petualangan.

Kalimat-kalimatnya mulai sedikit kompleks, tapi paragraf yang dipakai pendek (rata-rata 2-4 kalimat). Tipikal dari genre ini adalah cerita di akhir setiap bab dibuat menggantung di tengah-tengah sebuah kejadian agar pembaca penasaran dan terstimulasi untuk terus membaca bab-bab selanjutnya.

Serial Herbie Jones karangan Suzy Kline (Puffin Publishing) dan Ramona karya Beverly Cleary (Morrow Publishing) dikatakan masuk dalam genre buku anak ini."

"Udah, nih?" tanya Andi. "Sip dah. Klo masih ada lagi, buruan lanjutin penjelasannya biar sekalian tuntas"

"Buruan gundulmu itu, kopi dah habis nih. Bikin dong!" pinta Anto.

"Yeeee.... yang jadi tuan rumah kan situ. Ngapain aku harus bikinin kopi," protes Andi yang langsung disambit pisang goreng oleh Anto, kali ini pas kena di mulutnya.

"Woooke...woooke...wuaku wuighhinin ghoofi whhuak whhamhhu," kata Andi yang mulutnya masih keganjel pisang goreng anget. Maksud omongannya yang nggk karuan sih begini : "OKE-OKE! AKU BIKININ KOPI BUAT KAMU!'

bersambung....

Rabu, 07 Mei 2008

Transition Books

Memahami Genre Buku Cerita Anak #5

Transition Books


Setelah Anto benar-benar nggak nyemburin kopi ke mukanya lagi, Andi kembali duduk dengan tenang (sebenarnya sih nggak tenang-tenang amat. Soalnya kakinya masih siap siaga untuk melompat apabila Anto menyemburkan sesuatu dari mulut atau nyambitin sesuatu dari tangannya).

"Terusin deh, Nto," pinta Andi akhirnya.

"Oke. Tapi nggak usah pegangan kursi gitu dong. Santai aja," kata Anto. Setelah Andi terlihat benar-benar santai baru Anto melanjutkan penjelasannya.

"Nah, genre buku selanjutnya adalah Transition Books. Buku jenis ini disebut juga sebagai "chapter book tahap awal", untuk anak usia 6-9 tahun. Merupakan jembatan penghubung antara genre easy readers dan chapter books.

Gaya penulisannya persis serperti easy readers, namun lebih panjang (naskah biasanya sebanyak 30 halaman, dipecah menjadi 2-3 halaman per bab), ukuran trim per hlamannya lebih kecil lagi, serta dilengkapi dengan ilustrasi hitam-putih di beberapa halaman.

Serial The Kids of the Pols Stret School karya Patricia Reilly Giff (Dell Young Tearling Publishing) dan seri Stepping Stone Books yang diterbitkan Random House masuk dalam kelompok genre ini," kata Anto sambil meminum lagi kopi di atas meja yang langsung membuat Andi bersiap siaga lagi untuk mengeluarkan jurus langkah seribu nya.

"Eh, mau kemana Lo?" tanya Anto.

"Mau pipis dulu, ntar dilanjutin lagi, ya," jawab Andi sambil ngibrit ke kamar mandi karena udah nggak tahan pengin pipis.

bersambung...

Sabtu, 03 Mei 2008

Easy Readers

Memahami Genre Buku Cerita Anak #4

Easy Readers

"Wah...sadis banget sih!" teriak Andi sambil kalang kabut menghindar dari muncratan kopi yang keluar dari mulut Anto.

Setelah menyeka mulutnya, Anto pun balik menyemprot sahabatnya yang nggak tahu diri itu, "Nah, elo yang sadis. Orang dari tadi dah ngecap kesana-kemari, bukannya disimak malah pikiranmu itu kemana-mana. Trus minta diulangi lagi, kan capek aku!"

"Ya, deh...sori dori mori," kata Andi seperti biasa kalau meminta maaf. "Lanjutin aja deh penjelasannya"

Setelah menenangkan hatinya yang rada mangkel, Anto akhirnya mau melanjutkan lagi penjelasannya mengenai genre buku anak. "Oke, selanjutnya...ada genre yang disebut Easy Readers".

Wah, bagus itu. Kalo yang begituan aku tahu," serobot Andi sambil nunjuk-nunjuk muka Anto. "Aku paling suka nonton itu"

Anto yang kebingungan makin bingung, "Nonton? Nonton apaan?"

"Ya...itu tadi. Film Knight Rider, kan?!" kata Andi dengan penuh keyakinan.

Untung Anto nggak lagi minum kopi, klo saja dia sedang minum kopi, tentu adegan sebelumnya pasti terulang lagi. Dan kali ini, kebetulan Anto sedang memegang pisang goreng yang tinggal separo dan mendengar jawaban Andi langsung saja tangannya reflek melempar pisang itu pas nempel di hidung Andi yang langsung aja gelagepan karena nggak bisa napas.

"Dasar kacau elo, Ndi! Yang gua bilang Easy Rider bukannya film Knight Rider yang moncong mobilnya bisa kelap-kelip itu!" sembur Anto. "Udah deh jangan motong omonganku dulu."

"Easy Rider yang gue bilang tadi dikenal juga dengan sebutan easy to read. Buku-buku genre ini biasanya untuk anak-anak yang baru mulai membaca sendiri (usia 6-8 tahun). Masih tetap ada ilustrasi berwarna di setiap halamannya, tapi dengan format yang sedikit lebih "dewasa": ukuran trim per halaman bukunya lebih kecil dan ceritanya dibagi dalam bab-bab pendek. Tebal buku biasanya 32-64 halaman dan panjang teksnya beragam antara 200-1.500 kata, atau paling banyak 2.000 kata.

Cerita disampaikan dalam bentuk aksi dan percakapan interaktif, menggunakan kalimat-kalimat sederhana (satu gagasan per kalimat). Biasanya ada 2-5 kalimat di tiap halaman. Seri I Can Read yang diterbitkan Harper Trophy merupakan contoh terbaik buku genre ini.

Nah, sudah dicatat belum? Atau mau aku semprot lagi pakai air kopi?" tanya Anto yang tersenyum kegelian melihat Andi yang ketakutan dan bersiap mengambil ancang-ancang untuk lari dari semburan kopi.

bersambung....

Rabu, 16 April 2008

Memahami Genre Buku Cerita Anak #3

Early Picture Books

Setelah membersihkan meja yang kotor, Anto pun duduk kembali menemani sahabatnya yang haus akan informasi itu.

"Nah, jadi bagaimana?" tanya Andi tidak sabar.

"Yaelah, baru juga duduk. Kasih napas dulu, dong!" sahut Anto sambil terrtawa.

"Oke, setelah dua genre yang sudah kusebutkan tadi, genre yang ketiga adalah Early Picture Books. Genre ini...," belum selesai Anto berbicara, Andi langsung menyambar. "Wah, ngaco nih! Mentang-mentang awalnya ada Picture Books, trus selanjutnya kamu bikin ada ilernya picture books. Ntar, lama-lama ada pipisnya atau ompolnya picture books lagi".

"Lho?! Siapa yang ngomongin iler?" tanya Anto kebingungan.

"Wah, jangan anggap aku orang bodoh, Nto. Biar gini-gini aku masih ada turunan einsten lho," sesumbar Andi yang tentunya makin nunjukkin (waduh nggak tega ngomongnya neh!). Pokoknya tahu sendiri lah!

"Aku kan tadi ngomong early bukan iler. Dan itu aku nggak mengada-ada. Memang dari yang pernah aku baca, genre buku cerita anak ya...kayak gitu," jelas Anto.

"Ya, terserah deh! Lawan kamu gua pasti kalah!" kata Andi.

Anto yang mendengar sahabatnya itu nggak mau tahu cuman geleng-geleng kepala. "Nggak ilang-ilang adat yang sok tahu dari anak ini," batin Anto, tapi kemudian mulutnya berkata, "Oke! Aku lanjutin nih. Genre Early Picture Books ini sebentuk dengan picture books. Namun, dilengkapi sedemikian rupa untuk usia-usia akhir di batas 4 hingga 8 tahun.

Ceritanya sederhana dan berisi kurang dari 1.000 kata. Banyak buku genre ini yang dicetak ulang dalam format board book untuk melebarkan jangkauan pembacanya.

The Very Hungry Caterpilar (Philomel Publishing) karya Eric Carle adalah salah satu contohnya".

"Nah, gimana? Dah paham?" tanya Anto sambil menghirup lagi secangkir kopi panasnya.

"Ya..lumayanlah. Cuman tunggu dulu ya. Aku mau nyatet keterangan kamu tadi biar bisa kuhapal dan kubaca lagi kalau aku perlu. Coba ulangi lagi dari awal penjelasanmu," pinta Andi sambil mencari kertas dan pena, sedangkan Anto yang mendengar permintaan Andi langsung saja tersedak dan akibatnya muncratan air kopi dari mulutnya nyampe juga ke wajah Andi (wuih...sadis banget, gimana rasanya kena muncratan kopi dari mulut gitu, ya? Tapi sengaja tidak digambarkan disini, biar nggak pada muntah. Tapi klo mau ngebayangin sendiri juga nggak papa kok. He.he.he.he...)

Bersambung

Minggu, 06 April 2008

Memahami Genre Buku Cerita Anak #2

Memahami Genre Buku Cerita Anak #2

Picture Books

Setelah memakan habis kedua potong sisa singkong rebus itu, Andi kembali menagih janji pada Anto.

"Ayo, Nto. Apalagi genre buku yang lain?" desak Andi.

"Sabar, dong. Minum juga belum? Keselek nih!" protes Anto yang segera minum kopi dari teko di depannya.

"Bruaaaahhh!" sembur Anto ke wajah Andi yang langsung loncat-loncat karena wajahnya kena sembur kopi panas.

"Woi! Gimana seh, masa wajah sahabat sendiri disembur pakai kopi panas!" protes Andi.

"Sori dori mori ketabrak lori di pagi hari, Ndi. Baru terasa panas banget setelah kopinya masuk mulut," jawab Anto dengan penuh penyesalan.

"Sori dori nggak tahu diri!" Balas Andi. "Makan singkong rebus panas, mulut kamu kuat, kenapa minum kopi panas jadi nggak kuat?"

"Ya, makan dan minum kan dua hal yang berbeda. Sudahlah, kita lanjutkan penjelasannya," kata Anto sambil membersihkan semburan kopi panasnya yang tumpah di sekitar meja.

"Oh ya, yang kedua yang masuk dalam genre buku cerita anak adalah Picture Books. Pada umumnya, picture books berbentuk buku setebal 32 halaman untuk anak usia 4-8 tahun. Naskahnya bisa mencapai 1.500 kata, namun rata-rata 1000 kata saja.

Plotnya masih sederhana, dengan satu karakter utama yang seutuhnya menjadi pusat perhatian dan menjadi alat penyentuh emosi dan pola pikir anak. Ilustrasi memainkan peran yang sama besar dengan teks dalam penyampaian cerita. Buku anak pada genre ini bisa menggunakan lebih dari 1.500 kata, biasanya sebagai persiapan bagi pembaca yang memasuki masa-masa puncak di spektrum usianya.

Buku genre ini sudah membicarakan topik serta menggunakan gaya penulisan yang luas dan beragam. Cerita Nonfiksi dalam format ini dapat menjangkau sampai usia 10 tahun, dengan tebal sampai 48 halaman, dan berisi hingga 2.000 kata dalam teksnya".

"Hem...aku mulai banyak tahu nih. Masih ada lagi?" tanya Andi.

"Masih dong! Cuman ntar dulu ya. Aku bersihin meja ini dulu biar enak kita ngobrolnya," jawab Anto sambil mengelap meja yang kotor kena tumpahan kopi tadi.

Bersambung.......

Memahami Genre Buku Cerita Anak #1

Memahami Genre Buku Cerita Anak #1

Baby Books

Setelah bertemu secara tidak sengaja dengan Boim Lebon, Andi sekarang kembali mau mendengar kritik dan saran dari orang lain, terlebih dari Anto, sahabatnya yang sedari awal membantu dan mendampingi Andi dalam meniti cita-citanya sebagai seorang penulis cerita anak.

"Nto, aku minta maaf, ya. Sekarang aku mau mendengar lagi saran dan kritikmu," kata Andi setelah masuk ke rumah Anto.

Anto hanya tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya itu.

"Ya, aku sudah maafin kamu sebelum kamu minta maaf. Lagian, nggak ada yang perlu dimaafkan. Perasaan kamu bahwa tidak perlu meminta saran orang lain lagi terkadang memang diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya diri kita," kata Anto panjang lebar sambil menambahkan, "Aku sendiri terkadang juga langsung mengirim naskah tanpa bertanya pada siapapun. Kuanggap semua proses dari pembuatan sampai editing yang kulakukan telah maksimal. Dan hasilnya, ada yang langsung dimuat dan ada pula yang dikembalikan tentunya dengan catatan-catatan tambahan."

"Iya juga sih. Aku merasa bahwa selama ini aku sudah banyak tahu tentang buku cerita anak, ternyata masih banyak yang aku belum ketahui," keluh Andi.

"Aku merasa sudah mengetahui perbedaan dan genre yang ada dalam buku cerita anak, tapi sebenarnya, aku juga masih bingung, masuk ke kategori apakah cerita yang sedang aku kerjakan itu," makin panjang keluhan Andi.

Seperti biasa, Anto hanya tersenyum dan sembari meletakkan singkong rebus dan kopi panas, Anto berkata, "Kalau kamu masih mau mendengar penjelasanku, aku ada beberapa informasi yang ingin kubagi denganmu".

"Tak perlu menyindirku begitu, Nto. Kalau ada informasi, langsung saja kasih tahu aku. Aku sudah malu untuk bertanya," kata Andi.

"Oke. Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk memasukkan ke dalam kategori atau ke dalam genre apa cerita yang kau buat. Yang aku tahu, genre dalam buku cerita anak itu terbagi beberapa genre.

Yang pertama, adalah Genre Baby Books.

Genre ini diperuntukkan bagi bayi dan batita atau bawah tiga tahun. Kebanyakan materinya berupa pantun dan nyanyian sederhana atau bahasa inggrisnya lullabies and nirsey rhymes, bisa juga permainan dengan jari, atau sekedar ilustrasi cerita tanpa kata-kata sama sekali. Kalau yang model cerita tanpa kata-kata berarti sepenuhnya mengandalkan ilustrasi serta kreativitas orang tua dan anak untuk berimajinasi.

Panjang cerita dan formatnya beragam, disesuaikan dengan isi materi. Buku-buku untuk batita biasanya berupa cerita sederhana berisi kurang dari 300 kata. Ceritanya terkait erat dengan keseharian anak, atau bermuatan edukatif tentang pengenalan warna, angka, bentuk, dan lain-lain."

Anto menghentikan penjelasannya dulu untuk menyeruput kopi panasnya dan mengambil sepotong singkong rebus sembari tak lupa mempersilahkan Andi untuk mengambilnya.

"Terima kasih," kata Andi sambil melanjutkan, "Berapa jumlah halaman yang diperlukan bagi buku bergenre Baby Books? Apakah sama dengan novel cerita anak yang kubuat kemarin?"

"Tentu saja tidak," jawab Anto. "Jumlah halaman bagi Baby Books sekitar 12 dan banyak yang berbentuk board books, maksudnya buku yang kertasnya sangat tebal, seperti karton itu, lho. Kemudian ada yang berbentuk pop-ups...," belum selesai Anto menjelaskan, Andi sudah menyela. "Pop Corn? Emang ada genre buku yang menghasilkan makanan Pop Corn, kayak mau nonton bioskop aja, dikasih Pop Corn?"

"Bukan Pop Corn, tapi Pop-Ups. Makanya dengerin yang bener, jangan makan mulu. Kebanyakan makan, kupingmu jadi kesumpet tuh," semprot Anto yang kesal karena singkong rebusnya tinggal dua potong lagi. Padahal, Anto tadi menyiapkan sebanyak 12 potong, jadi, sudah 9 potong yang dimakan Andi dalam keadaan panas ngebul-bul.

Setelah Andi minta maaf dan dua potong singkong rebus itu dipindah Anto ke sebelah tempat duduknya, Anto kembali melanjutkan penjelasannya. "Maksudnya Pop-Ups itu adalah buku yang halamannya berbentuk tiga dimensi.

Selain itu, ada juga Lift-the Flaps atau buku-buku khusus seperti buku yang dapat bersuara, buku yang memiliki format unik atau dengan tekstur tertentu".

"Terus yang lainnya, apa?" tanya Andi.

"Ntar dulu deh. Aku makan sisa singkong rebus ini dulu. Ntar baru aku tambahin penjelasannya," Jawab Anto yang segera memasukkan kedua potong sisa singkong rebus yang masih panas itu ke dalam mulutnya. (Wah, ternyata Andi dan Anto sama-sama doyan singkong rebus yang masih panas ngebul-ngebul. Nggak mlonyot apa tuh bibir mereka, ya)

Bersambung....

Senin, 24 Maret 2008

Kesederhanaan dalam Cerita Anak

Setelah setiap kali pertemuan antara Anto dan Andi dimulai dengan kata pembuka 'Pada suatu hari', kini kata pembuka bagi cerita Anto dan Andi dimulai dengan kata yang berbeda, yaitu 'Pada suatu ketika' (Hei! Emang ada bedanya apa? He.he.he. sori bos, becanda).

Kali ini, kata pembukanya adalah 'Dalam perjalanan'. Nah, silahkan disimak!

Dalam perjalanan ke sebuah penerbit, Andi dan Anto terlibat dalam sebuah obrolan yang seru di dalam angkot.

"Ndi, cerita yang mau kamu kirim tentang apaan, sih?" tanya Anto sambil mencomot kripik pisang dari tangan Andi.

"Ya, cerita yang spektakuler pokoknya. Kalo nggak gitu, aku nggak pede buat ngirim cerita ini," jawab Andi dengan bangga sambil mengacungkan amplop berisi naskah ceritanya.

"Wah, yakin nih, ceritanya heboh banget?" tanya Anto lagi, "Boleh aku lihat?"

"Boleh aja. Tapi sori dori mori, ya, aku nggak terima koreksi dan kritik saat ini," ucap Andi mantap.

"Lho, kenapa begitu?" Anto jadi heran.

"Soalnya, klo terus ndengerin koreksi dan kritik kamu, aku nggak bakalan maju-maju. Sebab, setiap kali aku mau kirim naskah, kamu selalu bilang naskahku kurang inilah, kurang itulah dan ujung-ujungnya aku nggak jadi ngirim cerita anak ini ke penerbit," jelas Andi.

Anto hanya tersenyum mendengar alasan Andi. "Ya, kalau kritiknya membangun dan membuat cerita anak itu menjadi lebih baik, nggak pa-pa toh?"

"Betul itu, tapi aku juga ingin dengar alasan dari pihak lain. Semacam second opinion, lah," tegas Andi.

'CIT!!!!' Angkot tiba-tiba berhenti dan amplop cerita anak itupun terlepas dari tangan Andi. Sebagian isinya berserakan keluar dari amplopnya.

"Woi!! Gimana sih abang sopir ini. Ngerem kok mendadak gene," teriak Andi yang kesal karena naskah cerita anaknya jadi berhamburan.

"Maaf, Oom," kata sopir angkot sambil cengar-cengir. (Dasar sopir angkot, bukannya nyesel malah cengar-cengir. Coba klo karena sikapnya ngerem mendadak itu kemudian ada kendaraan di belakangnya yang kaget dan celaka, kan jadi berabe urusannya.

Sebuah tangan turut membantu memunguti kertas yang berserakan itu. "Saya bantu ya, dik," kata pemilik tangan itu.

Sekilas, Andi dan Anto memandang penumpang di depan mereka. Orang itu berperawakan pendek dengan kulit hitam dan rambut kribo, dari wajahnya aja bisa mengundang kita untuk tersenyum dan tertawa. Cerah banget! (Emang matahari, cerah).

"Oh, terima kasih, ya, pak," kata Anto akhirnya.

Sesaat, orang itu membolak-balik kertas cerita anak milik Andi, seperti orang yang membaca dengan cepat sambil menata dan mengurutkan sesuai nomor halamannya.

"Ini cerita anak, ya?" tanya orang itu sambil menyerahkan tumpukan kertas yang sudah disusunnya kepada Anto.

"Betul, pak. Naskah itu milik teman saya ini," jawab Anto. "Gimana, pak? Bagus ndak ceritanya?" todong Anto yang rupanya memergoki bahwa orang yang membantu mengumpulkan naskah itu sempat membaca beberapa halaman cerita anak milik Andi.

"Wah, ketahuan, ya, klo saya membaca sekilas naskah milik temanmu. Jadi malu saya?" kata orang itu dengan mimik memelas meminta maaf.

"Nggak pa-pa, kok, pak. Semakin banyak pendapat, kan semakin baik," kata Anto sambil melirik Andi dengan pandangan yang seolah berkata 'Nih, dengerin pendapat orang lain selain aku'.

"Menurut saya, naskah tadi sekilas cukup bagus. Cuman ceritanya masih kurang terbangun dengan baik," kata orang berambut kribo itu.

"Maksudnya, pak?" tanya Andi yang penasaran karena orang yang dianggapnya pendek dan dekil itu berani mengkritik cerita anak miliknya.

"Begini, seperti fiksi secara umum, cerita untuk anak atau kita sebut saja fiksi anak juga dibangun oleh beberapa unsur.

Yang pertama adalah Tema. Sebuah tema yang tepat untuk fiksi anak adalah yang menghibur, mendidik dan inspiratif.

Yang kedua, Penokohan. Dalam fiksi anak, jumlah tokoh jangan terlalu banyak. Kita bisa membatasi dengan 1-4 tokoh utama dan 5 pendukung. Kalo terlalu banyak akan membingungkan pembaca dalam menghapal dan memahami si tokoh.

Yang ketiga, Alur. Menurut saya, bacaan yang mengasikkan adalah yang alur ceritanya mengalir. Untuk itu, seorang penulis biasanya membangun peristiwa ke peristiwa yang lain saling berkaitan hingga akhir cerita. Dalam alur, kita akan menemukan pembukaan, konflik, klimaks, dan anti klimaks.

Yang keempat, Setting. Latar atau setting fiksi anak barangkali hal yang paling luas di dunia fiksi. Dengan imajinasi yang luas, fiksi anak nyaris tak memberi batasan. Kita bisa membuat dongeng tentang kehidupan makhluk di bawah air terjun atau yang lainnya. Selain latar tempat, latar waktu juga bisa kita akali. Walau pada kenyataannya, fiksi anak Indonesia lebih banyak menggunakan setting modern dan sekolah yang mungkin disebabkan karena kedekatan geologis dan waktu terhadap pembacanya yang anak-anak.

Yang kelima, meski yang terakhir tapi juga sangat penting adalah Trik. Setiap penulis pada akhirnya harus memiliki style atau gaya dalam menulis. Hal ini berkaitan dengan citra penulis itu sendiri nantinya. Seorang penulis yang mempunyai gaya atau style bercerita yang lain dengan penulis kebanyakan biasanya akan selalu diingat dan lebih mendapat tempat di hati pembacanya. Penulis juga harus mampu memahami dan membuat trik dalam bercerita, sehingga cerita dengan tema sesederhana apa pun jadi menarik untuk dibaca.

Silahkan Anda mencermati beberapa karya penulis fiksi anak ternama, misalnya Enid Blyton, Wendo, Astrid, Benny Rhamdani, Ali Muakhir dan yang lainnya. Dari situ kita akan dengan mudah menemui trik mereka dalam bercerita hingga mampu memikat dan dengan banyak melatih menulis, trik bercerita akan makin terasah dan tertanam.

Mungkin itu saja yang bisa saya sharing saat membaca naskah cerita anak milik Anda tadi," dengan lancar, jelas dan gamblang orang berperawakan pendek, dekil dan berambut kribo itu berbicara, sampai-sampai Anto dan Andi melongo dibuatnya.

"Kiri, pak sopir," teriak orang itu sambil tersenyum kepada Andi dan Anto. "Saya turun disini dulu ya. Sampai ketemu di lain waktu."

Sebelum orang itu turun Anto buru-buru bertanya, "Siapa nama Bapak?"

Tapi orang itu hanya tersenyum dan terus turun dari angkot.

Setelah angkot berjalan kembali, Andi melihat sebuah kartu nama yang nampaknya terjatuh dari saku jaket orang tadi. Andi memungutnya dan membaca nama yang tertera di kartu nama itu.

"Boim Lebon," ucap Andi dan Anto berbarengan.

Senin, 17 Maret 2008

Bahasa untuk Cerpen Anak

"Wadohhhhh!! Pusing gue. Gue pusing!" teriak Andi suatu pagi.

Anto yang menemani disebelahnya tentu saja terkejut dan meloncat sejauh 10 meter ke samping (weleh, emang punya ilmu meringankan tubuh, hingga bisa loncat sejauh itu?).

"Apaan sih, Ndi? Ngagetin orang aja," omel Anto.

"Sori deh, gue lagi bingung nih, Nto," keluh Andi.

"Bingung apa lagi, bilang dong ama gue," kata Anto.

"Gue malu kalo tanya melulu ama loe," kata Andi yang mukanya memerah karena malu.

"Busyet dah! Ngomong malu aja sampai wajah loe memerah kayak gadis mau dikawinin aja," tawa Anto pun berderai. "Coba ngomong dulu apa masalahnya, ntar kita pecahin bersama biar loe nggak bingung lagi."

"Kita? Loe kali, gue kagak," sambar Andi yang menirukan gaya ruben di acara Mamamia setiap kali mendengar kata KITA.

"Ya, terserah loe aja deh, yang penting ngomong dulu apa masalahnya," kata Anto kalem.

"Gini, Nto. Gue kan bikin cerita anak lagi dan udah gua kirim, tapi naskah itu dibalikin lagi dengan alasan bahasa gue nggak sesuai. Nah, gue kan bingung, emang bahasa yang benar itu kayak apa? Selama ini gue kirim naskah ke tempat lain selalu oke-oke aja," kata Andi akhirnya.

"Selama ini kamu kirim naskah, semuanya dimuat atau diterbitkan?" tanya Anto sebelum menjawab keluh kesah sahabatnya itu.

"Ya, nggak lah. Kan, loe tahu sendiri baru sekali naskah gue dimuat," sembur Andi agak emosi karena mengira Anto mengejeknya.

"Nah, itulah. Mental kamu itu bisa kubilang mental yang lembek. Kena rintangan sesekali aja udah ngeluh, udah nyerah. Tetap berjuang, dong! Semangat!" kata Anto.

"Loe yang tinggal ngomong, enak! Nah gue yang harus ngejalaninnya ini yang bingung, ujung-ujungnya pusing deh. Klo loe bisa ngomong kayak gitu, emang loe tahu bahasa yang seperti apa yang mereka mau?" tanya Andi dengan gaya menantang.

Anto yang udah hapal lagak dan lagu sahabatnya itu senyam-senyum aja sambil mengatakan, "Gue sih bukannya paranormal yang bisa tahu keinginan seseorang dari jarak jauh. Gue juga bukan peramal yang bisa mengatakan ini begini, ini begitu. Tapi gue, sekali lagi gue adalah orang yang suka membaca dan hal ini sudah seringkali gue sarankan sama loe. Sering-seringlah membaca untuk menambah wawasan dan kemampuanmu dalam menulis.

Jangan puas dan berhenti belajar hanya karena satu naskah kamu sudah dimuat oleh media cetak. Hidup ini adalah pembelajaran, mulai kecil sampai kita mati nanti kita harus tetap belajar.

Nah, seperti yang pernah aku baca, di blog Penulis Cerita Anak, bahasa untuk cerita anak adalah bahasa yang mudah dicerna oleh anak-anak. Sederhananya pergunakan bahasa yang biasa digunakan oleh anak-anak agar mereka mengerti dan mudah mencerna cerita kita.

Sementara itu, dari millis Penulis Bacaan Anak, dibilang bahwa bahasa adalah kaca pada jendela. Ide dan cerita adalah pemandangan di luar sana. Jadi, kita harus terus berlatih menulis untuk mencapai tingkat yang baik dalam berbahasa, khususnya bahasa tulis.

Cara lainnya agar kemampuan bahasa tulis kita meningkat adalah memperbanyak kuantitas bacaan kita. Semakin banyak kita membaca, akan kian banyak pula kosakata yang kita serap. Dengan melatihnya dalam penulisan, akan semakin meningkat pula kemampuan kita dalam menata diksi.

Diksi bukan hanya sekedar untuk memilih kata yang tepat. Diksi juga bisa memperjelas ide. Bahkan, diksi juga bisa kita pakai untuk memperindah cerita. Jadi, perkata terus perbendaharaan kata yang loe miliki dan praktikkan dalam menulis.

Kalo maish mau belajar lagi coba ke blog Writer. Disitu juga banyak pembelajarannya, kok.

Gimana, paham nggak?" tanya Anto menutup penjelasannya.

Dan lagi-lagi seperti biasa, Andi hanya manggut-manggut kayak ayam matuk.
"Asyik! Gue sekarang dah ada ide untuk nulis cerita yang baru!" teriak Andi tiba-tiba yang kembali membuat Anto harus meloncat tinggi sejauh 10 meter lagi ke depan.

Selasa, 11 Maret 2008

Pundi Uang Tambahan Bagi Penulis dari Blogguebo.com

Setelah pertemuan terakhirnya dengan Anto membuat cita-cita Andi untuk menjadi seorang penulis anak profesional kandas, kini dalam pertemuan terkini mereka (ceile kayak re-match tinju profesional aja), Andi telah menyiapkan bahan untuk membalas argumen Anto.
Sengaja, Andi yang kali ini mendatangi rumah Anto. "Nto, Anto. Assalamualaikum!!" teriak Andi dari luar pagar rumah Anto.
"Waalaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh!" Jawab Anto sambil membuka pagar dan mempersilahkan sahabatnya itu untuk masuk ke dalam rumah.
"Wah, lagi bikin naskah baru lagi, ya?" tanya Andi ketika melihat layar komputer Anto menyala.
"Nggak. Cuman mau melebarkan sayap saja, supaya pundi-pundi uangku makin banyak," jawab Anto singkat. Namun, jawaban singkat itu telah menggelitik saraf penasaran dalam diri Andi yang selalu menganggap Anto adalah orang yang mempunyai banyak keahlian, informasi, inisiatif dan kreatifitas.
Dengan melotot, Andi mendekati layar komputer Anto dan membaca tulisan yang sedang diketik oleh Anto.
"Blogguebo Review Kontes," gumam Andi di depan layar komputer.
Anto yang pandangannya ke komputer terhalang oleh kepala Andi kontan saja ngoceh-ngoceh, "Hoi! Apa-apan sih loe?! Nggak tahu orang lagi kerja, apa, ya?!"
"Sorry. Tapi gue penasaran banget ama tulisan ini. Maksudnya apaan sih?" tanya Andi.
"Ini yang gue bilang melebarkan sayap penghasilan gue. Selain menulis untuk majalah, koran atau tabloid, sekarang gue mulai mencoba lahan baru yaitu menulis di internet," jawab Anto.
"Emang ada yang mau bayar tulisan kita di internet?" seperti biasa Andi mengejar dengan pertanyaan.
"Ya iyalah. Namanya Paid Review," jawab Anto.
"Terus, ini apaan?" tanya Andi lagi sambil menunjuk tulisan 'Bloggue Review Kontes'.
"Oh, ini adalah Kontes Review Berhadiah yang diadakan oleh Blogguebo. Sebuah situs tempat gue belajar mengenai program Paid Review," jawab Anto.
"Situs itu berisi panduan-panduan, tips dan trik dalam mengikuti program-program yang bisa menghasilkan duit bagi kita atau sering juga disebut bisnis online," tambah Anto sambil membuka situs Blogguebo.com.
"Ini toh situsnya," kata Andi. "Kok sederhana banget tampilannya," celetuk Andi meremehkan.
"Yeee...Dont judge the book by cover," kata Anto sambil menambahkan, "Artinya, jangan menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Biar kelihatan sederhana, tapi dari blog ini sangat berbobot. Ibarat desain rumah yang saat ini lagi digembar-gemborkan para delevoper, blog ini termasuk blog yang minimalis tapi elegant. Sederhana dalam bentuk, tapi berbobot dalam isi. Seandainya gue nggak nemuin blog ini, mungkin gue nggak tahu apa itu Paid review, Paid to Click atau Paid to Read."
"Kalau loe dah baca artikel-artikel dalam blog ini, loe bakalan tahu apa yang gue maksud. Gue sih merasa enjoy banget dengan isi blog ini. Bahasanya santai, sederhana tapi tetap fokus pada topik dan mengena. Step by stepnya juga runut dan gampang diikuti, pokoknya TOP GBT deh!"
"Ya, sorry deh," kata Andi meminta maaf. "Eh, emang bisnis online itu cuman nulis-nulis begituan terus dibayar, gitu, ya?" tambah Andi.
"Bisnis online nggak cuman itu doang. Selain beberapa program yang gue sebutin barusan, ada juga program lain yang akan membayar kita apabila orang mengklik iklan yang ditayangkan di blog kita, namanya Google Adsense," jelas Anto.
"Wah apalagi tuh. Gimana cara ikutannya?" kejar Andi yang makin penasaran dan tertarik dengan bisnis online yang dijelaskan Anto.
"Kalau mau ikutan, loe mesti mendaftar Google Adsense terlebih dahulu. Kalau dah diterima, loe bisa pasang iklan Google di setiap website yang loe punya, gampang, kan?!" jawab Anto.
"Wah, gampang banget. Gue mau daftar dulu ah!" kata Andi antusias.
"Terus loe mau pasang di mana ntar kalau dah ketrima?" tanya Anto yang bingung karena tahu selama ini Andi termasuk orang yang gagap internet.
'Ya... daftar aja. Ntar pasang iklannya numpang di punya kamu," jawab Andi enteng.
Anto yang mendengar jawaban itu reflek melempar sebuah buku yang ada disampingnya tepat mengarah ke lutut Andi (Emang, otak Andi ada di mana, sih?)

Kamis, 28 Februari 2008

Penulis Fiksi Anak Profesional

Sudah agak lama Anto dan Andi tidak bertemu. Sebenarnya, tidak ada masalah di antara mereka. Hanya saja, setiap kali Anto berkunjung, Andi selalu tidak ada di rumah.
Nah, kebetulan saat Anto sedang menikmati Bakso langganannya, Andi juga berada di sana.
"Wah, sudah jadi orang terkenal nih. Susah banget buat ketemu," sindir Anto yang langsung duduk di sebelah sahabatnya itu.
"Sorry..dorry...morry, Nto. Gua lagi punya planning untuk menjadi seorang penulis fiksi anak profesional. Jadi gua harus bergaya seperti selebritis lain, dong. Diantaranya adalah menjadi susah untuk ditemui," jawab Andi enteng.
Anto yang mendengar jawaban sekenanya itu langsung tertawa ngakak. Untung Anto belum makan bakso, kalau sudah makan, bisa nyembur semua tuh bakso ke muka Andi.
"Lho, kenapa kamu ketawa ngakak kayak gitu? Kamu ngeremehin aku, ya?" Andi tersinggung melihat Anto yang ngakaknya nggak berhenti-henti.
Sambil memegang perutnya yang kram karena kelamaan ketawa, Anto meminta maaf pada Andi. "Aduh...sorry...dorry...morry...ketabrak lori di pagi hari ketika lari di rel kereta api," kata Anto membalas gaya bicara Andi yang sok gaul (tentunya plus diskon "ketabrak lori di pagi hari ketika lari di rel kereta api").
"Bukannya meremehkan kamu, Ndi. Cuman, jadi penulis profesional itu bukannya harus ngumpet sepanjang hari biar sulit ditemui. Justru, sebagai penulis profesional, kamu harus sering-sering ketemu penggemar agar kamu makin dikenal oleh pembaca dan bukumu bisa laris di pasaran. Kalau kamu ngumpet terus mana bisa dikenal pembaca," tambah Anto.
Andi terdiam sesaat (bukan terdiam mikir, tapi lagi ngunyah bakso urat segede bola tenis) mendengar kata-kata Anto.
"Kalau aku nggak ngumpet, terus gimana sikap penulis profesional yang sebenarnya?" tanya Andi.
"Soal menjadi penulis fiksi anak profesional yang pernah aku baca di sebuah millis itu ternyata mempunyai beberapa syarat.
Yang pertama dan paling utama adalah mengandalkan dunia menulis fiksi anak sebagai mata pencaharian pokok (sampingannya sebagai seleb, guru, atau mungkin direktur).
Yang kedua, produktif menghasilkan karya fiksi anak (tapi bukan untuk disimpan di harddisk doang).
Yang ketiga, mampu membuat karya yang bermutu tinggi (minimal tembus media, tingkatan lebih tinggi... bisa dapat penghargaan IKAPI atau Nobel).
Yang keempat, terampil (memahami sampai ha-hal yang kecil. Kasarannya nggak salah dalam penempatan tanda baca titik dan koma).
Yang kelima, mampu memilih tema dan bentuk fiksi anak yang menarik di pasar (Ya... cobalah jadi pioneer dalam sebuah tema cerita. Jangan selalu jadi pengekor)
Yang keenam, memiliki sarana yang lengkap (nggak nebeng di teman atau ke rental setiap hari).
Yang ketujuh, keterampilan bernegosiasi (dengan media cetak atau penerbit. Dan dalam hal ini, juga harus mampu membina hubungan)," panjang lebar Anto menjelaskan pada sahabatnya.
"Untuk menjadi seperti itu, aku harus bagaimana?" Andi makin bingung.
"Lha, tadi mengaku sudah menjadi penulis terkenal. Kok masih tanya caranya, sih?" goda Anto.
"Ya, bergaya doang boleh dong. Kan, biar nggak kaget klo nanti sudah jadi penulis profesional beneran," kelit Andi.
"Untuk bisa sampai ke sana, yang pertama kamu jangan pernah mengirimkan naskah yang tidak memiliki nilai jual.
Kenapa? Karena image penulis profesional kita mesti dibangun sejak awal.
Kemudian, kita harus aktif mengelola diri. Artinya, jangan cuma mengirim naskah lalu menunggu sampai lumutan. Tapi, cobalah untuk aktif berdiskusi dengan beberapa penulis fiksi anak, dan terus mencari celah diskusi dengan para editor media cetak atau penerbitan.
Hal ini bertujuan untuk membangun hubungan baik sekaligus mencari kelemahan diri dan menambah skill menulis kita dari masukan, saran dan kritik mereka," Anto kembali menambahkan penjelasannya tentang penulis profesional.
"Kalau sudah mengikuti semua yang kamu katakan, berarti aku sudah bisa menjadi penulis profesional, gitu?" kejar Andi dengan pertanyaan.
"Kalau kamu istiqomah, rajin dan pantang menyerah, InsyaAllah gelar penulis profesional akan berada di tanganmu," jawab Anto singkat.
"Dan, gua bisa jadi orang kaya, dong?" balas Andi dengan pertanyaan.
"Ya...kalau mau kaya sih tergantung pada banyak hal," Anto masih menjawab seadannya.
"Maksudnya?" lagi-lagi Andi bertanya.
"Ya...bagaimana gaya hidup kamu," jawab Anto yang langsung disambung, "STOP!! No more question!"
"Seberapa banyak penghasilanmu kalau gaya hidup dan pengeluaranmu lebih besar dari pendapatan, sampai kapanpun kamu tidak akan bisa kaya," Jawab Anto sambil meninggalkan sahabatnya (tentunya setelah membayar bakso yang dibungkus karena tidak jadi dimakan di tempat).

Jumat, 01 Februari 2008

Merajut Cerita dalam Novel





Kulit di kening Anto langsung berkerut lipat sembilan saat bertamu ke rumah Andi. Kenapa? Karena Anto melihat robekan-robekan kertas dan berbagai macam kertas yang telah diremas-remas oleh seseorang.

Sementara itu, Andi terkapar di kursi panjangnya linangan air liur hampir menutupi wajahnya (wuih..hiperbola banget neh bahasa. Masa' iler aja sampai hampir menutupi wajah).

Anto yang tak mau terkontaminasi iler sahabatnya itu membangunkan Andi dengan melemparkan kertas yang telah diremas-remas ke wajah Andi.

Lemparan pertama .... gagal. Lemparan kedua ... hanya menyerempet ujung rambut Andi. Dan kini, lemparan ketiga............... wiuh! Gagal lagi! Berkali-kali melempar tapi tetap gagal, Anto jadi frustasi juga. Akhirnya dia meraup semua kertas yang telah diremas-remas, mengumpulkannya di dalam keranjang dan melemparkan semuanya ke arah Andi. Bukan hanya kertasnya, tapi juga keranjangnya sekalian (waduh!).

Andi yang kelelahan dan tampaknya sedang bermimpi indah itu langsung melompat bangun dan memasang kuda-kuda seperti orang berkelahi. "Aits...Aits..siapa itu? Siapa berani mengganggu Andi, jagoan dari Betawi, keturunan langsung Si Pitung?" teriak Andi sambil memamerkan jurus-jurus silatnya.

Tiba-tiba, "Tuk" sebuah kertas menyambar kepala Andi dari belakang. "Aits!" Andi langsung berbalik.

"Apa, Lo?" tanya Anto dengan lagak menantang.

"Eh, ternyata kamu, Nto," kata Andi sambil mengelus-elus dadanya dan kembali duduk di kursi panjang.

"Eh, emangnya hujan barusan turun, ya? Kok, rumahku bocor?" Andi kebingungan ketika dia merasakan kursi panjangnya basah kuyup. Padahal, Andi yakin rumah kontrakannya itu tidak bocor.

"Itu bukan karena rumah kamu bocor, tapi mulut kamu tuh yang bocor. Liat aja, iler sampai berleleran di wajah kamu gitu. Jorok banget sih!" tukas Anto sambil cengar-cengir.

Setelah membereskan iler-iler yang menggenang di beberapa tempat (soalnya Andi kalau tidur suka pindah kemana-mana tanpa disadarinya), dan membersihkan kertas-kertas yang berserakan, Andi mempersilakan Anto untuk duduk.

"Kamu lagi bikin apaan, Ndi. Kok rumah kamu jadi kayak kapal pecah begini?" tanya Anto.

"Dari semalam aku lagi pengin bikin novel anak. Cuman, kok sulit banget, ya. Untuk membuat cerpen sekarang aku sudah agak lancar, tetapi saat mencoba membuat novel anak, entah kenapa otak ini jadi buntu dan rasanya terlalu berat untuk membuat novel anak yang harus sekian puluh, bahkan sekian ratus halaman," keluh Andi.

Dengan tersenyum, Anto mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu. Setelah Andi selesai berbicara, Anto pun bertanya, "Bagian mana yang menurut kamu sulit?"

"Bagian memperpanjang cerita yang menurutku paling sulit. Aku merasa bahwa konflik yang aku bangun hanya cocok untuk sebuah cerpen. Kalau untuk novel, otakku nggak nyampe," jawab Andi.

Anto masih saja tersenyum melihat kegelisahan sahabatnya itu.

"Sebenarnya, membuat novel itu sama saja dengan membuat cerpen. Dalam masalah yang kamu hadapi, yaitu kebuntuan mengembangkan cerita, banyak sekali dialami oleh hampir semua penulis novel.

Aku pun juga pernah mengalami kebuntuan untuk mengembangkan cerita dalam novelku".

"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Andi memotong penjelasan Anto.

Meski dipotong, namun Anto tidak merasa tersinggung. Anto memang sangat memahami betapa frustasinya saat seorang penulis mengalami kebuntuan dalam membuat cerita.

"Apa yang kulakukan? Aku kemudian berpikir tentang selimut," jawab Anto sambil mengangkat telunjuknya sebagai isyarat agar Andi yang saat itu hendak bicara untuk diam dan tidak memotong penjelasannya.

"Kamu tahu selimut, kan? Kebanyakan selimut dibuat dari satu kain, hanya motifnya yang kemudian diramaikan. Tapi, ada juga selimut yang dibuat dari kain perca. Bentuknya tak kalah indah, dan menurutku cenderung lebih menarik. Begitu pun dengan menulis novel, kita bisa membuat selimut novel dengan berbagai perca cerita pendek. Semua tergantung dari kejelian kita dalam menjalin perca cerita itu hingga menjadi selimut novel yang menarik.

Trik seperti itu bisa dikatakan sebagai patchwork. Nah, apa keunggulan novel dengan gaya penulisan ala patchwork ini?

Keunggulannya banyak, yaitu novel kita akan lebih bervariasi isinya, karena cerita yang kita buat mempunyai multi konflik dan multi ending. Kemudian, karakter tokoh lebih banyak tergali dan tidak hanya sekedar tempelan dan tentu saja kita akan lebih mudah menggarapnya."

"Hmm...menarik juga untuk dicoba. Cuman aku masih meraba-raba untuk membuat cerita dengan gaya seperti itu," kata Andi.

"Oke. Kamu bisa menerapkan gaya patchwork ini dengan tahapan-tahapan. Yang pertama, buat kerangka dulu cerita yang akan dibuat untuk novel. Kedua, kumpulkan perca konflik, cerpen yang pernah kita buat bisa kita manfaatkan. Ketiga, pilih satu konflik yang paling menarik dan kuat, jadikan konflik ini sebagai benang merah. Keempat, buat pem-bab-an dengan baik. Misal 3-1. Dalam bab kita masukkan, satu 3 konflik. Satu konflik kita akhiri, satu konflik untuk bab berikutnya, satu lagi merupakan benang merah. Seterusnya perbab, hingga bab terakhir hanya satu bab yang kita tutup konfliknya.

Yang kelima, buat penokohan dengan sistem grup. Misalnya 5 sahabatnya di kantor, 4 sekawan kost, 4 sahabat sekelas, trio anggota band, dan lain-lain. Yang terakhir, langsung buka awal tulisan dengan konflik kecil," jelas Anto panjang lebar.

Manggut-manggut Andi mendengar penjelasan sahabatnya itu. Perlahan namun pasti, Andi mulai membenahi kembali lembar-lembar kertas diatas mejanya dan duduk diam menatap lurus ke arah kertas itu.

Anto yang melihat tingkah Andi jadi bengong. "Lho, kamu ngapain, Ndi, bukannya ngomong kok malah bengong. Kesambet baru tahu, lo."

Andi tidak menjawab dan tetap menatap kertas yang ada di depannya.

"Ndi, ngomong, dong. Ye... capek-capek njelasin malah dicuekin," Anto makin keras berteriak.

Akhirnya Andi menoleh ke arah Anto, itupun dilakukan dengan perlahan seperti gerakan lambat dalam sebuah film. Perlahan pula telunjuknya ditempelkan di bibirnya. "Sssst! Tolong jangan berisik. Aku sedang memikirkan konflik-konflik kecil yang akan aku rangkai menjadi konflik besar dalam novelku ini," kata Andi dengan mimik sok serius.

Sedikit kesal tapi juga ingin tertawa Anto melempar apa aja yang ada di dekatnya ke wajah Andi yang saat ini tampak mengesalkan baginya.

Kamis, 17 Januari 2008

31 Hak Anak

31 Hak Anak

Andi sekarang sudah mulai lumayan dalam membuat cerita anak. Namun, yang namanya manusia, terkadang bisa juga kehabisan ide atau tema cerita.

Seperti biasa, tempat Andi curhat dan diskusi adalah Anto, sahabat sekaligus guru dalam bidang kepenulisannya.

"Nto, aku lagi bingung, neh," kata Andi saat bertemu sahabatnya itu.

"Bingung apaan? Klo bingung pegangan pagar tuh, biar mantep," canda Anto.

"Ah, kamu ini, bercanda melulu. Aku serius nih," kata Andi lagi.

"Oke-oke, maaf, deh. Kamu lagi bingung apa Andi sayang," Anto masih terus bercanda, namun Andi sepertinya benar-benar serius sehingga tidak menganggap perkataan Anto sebagai canda. Andi terus melanjutkan keluh kesahnya.

"Aku lagi bingung. Aku sudah banyak menulis cerita pendek untuk anak. Tapi, kini aku kehabisan ide. Aku merasa bahwa semua ide atau tema sudah kutulis semua. Nah, kalau sudah begini, apa yang harus kutulis lagi?" tanya Andi.

"Ehm....sebenarnya, sebagai penulis kita tidak akan pernah kehabisan bahan untuk cerita. Banyak kejadian disekitar kita yang bisa kita jadikan bahan. Seperti yang pernah kukatakan, tidak harus cerita yang wah dan muluk-muluk, tapi bisa juga hanya dari peristiwa kehilangan sandal jepit, kita bisa membuatnya menjadi sebuah cerita yang menarik dan mempunyai pesan moral yang tinggi. Itu kalau kita mau. Tapi, sepertinya cara ini agak sulit bagi kamu.

Untuk itu, kamu mungkin bisa menulis berpatokan pada beberapa hak anak yang ada dalam Konvensi Hak Anak," jelas Anto yang jadi ketularan serius.

"Memang ada gitu, Konvensi Hak Anak?" Andi heran karena baru kali ini dia mendengar tentang konvensi hak anak.

"Ya ada lah, secara anak-anak yang harus kita lindungi gitu loh," jawab Anto sambil melanjutkan, "Makanya, kalau mau total dalam dunia kepenulisan anak-anak, kamu harus juga mau bekerja keras dan cerdas untuk memahami dunia mereka serta mempelajari apa saja yang berkaitan dengan dunia anak-anak.

Dalam Konvensi Hak Anak disebutkan sekitar 31 hak bagi anak, yaitu:
1. Hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang.
2. Hak untuk mendapatkan nama.
3. Hak untuk mendapatkan kewarganegaraan.
4. Hak untuk mendapatkan identitas.
5. Hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
6. Hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang paling tinggi.
7. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata.
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum.
9. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak.
10. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan.
11. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.
12. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak-anak.
13. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau masyarakat adat.
14. Hak untuk hidup dengan orang tua.
15. Hak untuk tetap berhubungan dengan orang tua bila dipisahkan dengan salah satu orang tua.
16. Hak untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan.
17. Hak untuk berekreasi.
18. Hak untuk bermain.
19. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya.
20. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang genting.
21. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi.
Hak untuk bebas beragama.
22. Hak untuk bebas berserikat.
23. Hak untuk bebas berkumpul secara damai.
24. Hak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber.
25. Hak untuk mendapatkan perlindungan pribadi.
26. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari siksaan.
27. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman dan perlakuan tidak manusiawi.
28. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penangkapan yang sewenang-wenang.
29. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan.
30. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.


Jadi, dari 31 Hak Anak tadi, kamu bisa mulai lagi membuat cerita anak yang lebih bagus, fokus dan sarat pesan moral. Ok?!"

Andi manggut-manggut kayak ayam matukin beras dan dalam hati berjanji akan membuat cerita bagi anak yang lebih bagus dan bermakna.

Rabu, 02 Januari 2008

Donasi untuk Blog ini Melalui Paypal

Judul Mbejundul

Anto datang berkunjung ke rumah Andi pada suatu sore. Saat masuk ke pekarangan rumah Andi, Anto melihat sahabatnya itu tengah membaca sambil mengerutkan dahi seperti orang yang sedang berpikir keras.

"Andi, ngapain dahi kamu berkerut begitu, ntar cepet tua lho!" canda Anto.

"Eh, kamu To. Kebetulan kamu datang. Aku lagi kebingungan nih, lagi cari judul yang pas untuk cerita yang baru saja kuselesaikan," kata Andi yang jelas sekali terlihat lega saat melihat kedatangan Anto, yang dikenalnya sebagai seorang penulis.

"Emang, kamu bingung dimananya? Judul itukan tinggal disesuaikan dengan ceritanya," Anto memberi sedikit penjelasan.

"Awalnya aku memang sudah menentukan judulnya, tapi setelah kubaca-baca, kok sepertinya judul itu kurang bombastis, jadinya berkali-kali aku menggantinya, tapi tetap saja belum sreg di hati," keluh Andi.

"Sebenarnya, memberi judul pada sebuah cerita itu gampang-gampang susah. Tidak semua judul harus bombastis dan berlebih-lebihan yang penting judul itu telah mewakili keseluruhan cerita yang ada, itu saja sudah cukup," Anto menerangkan mengenai pemberian judul pada Andi dan melanjutkan dengan penjelasan yang lain.

"Menurutku, kamu nggak perlu bingung atau sampai pusing dengan judul. Kalau kamu sudah punya ide, tulis aja dulu menjadi cerita. Adakalanya judul itu akan diganti oleh redaktur di sebuah penerbitan. Jadi, sah-sah aja kita beri judul apapun, karena nanti redaktur akan melihat kembali dan bila perlu dia akan mengganti judul yang kita berikan dengan judul yang menurutnya lebih pas. Memang kadang terasa menyakitkan, karena apa yang sudah kita kerjakan dengan baik lantas diganti oleh redaktur, tapi...ya, begitulah adanya. Redaktur mempunyai wewenang penuh akan hal itu.

Tapi, jika kamu memang ngotot untuk mempertahankan judul yang kamu beri, ada beberapa trik yang mudah diikuti. Contohnya; Judul yang didasarkan atas nama tokoh cerita, seperti Harry Potter and the Chamber of Stone, Wiro Sableng, Si Buta dari Gua Hantu, Abunawas dan sebagainya.

Bisa juga dengan berdasarkan pada benda yang menjadi obyek cerita, seperti Kaus Kaki Ajaib, Pensil Ajaib, Bendi Keramat, Misteri Wayang Titi dan lain sebagainya.

Selain itu, bisa juga judul kita ambil dari percakapan di dalam cerita, seperti Maafkan Nino, Ma...!, Ada Hantu, Awas, Ini Rahasia! dan lain sebagainya.

Juga bisa judul diambil dari pesan cerita yang kita berikan. Hal ini dapat kita lakukan apabila kita ingin membantu pembaca mengambil pesan dari cerita yang kita buat. Beberapa contoh judul dalam kategori ini adalah Menunda Itu Masalah, Jera Membolos, Kalau Saja Terus Terang, Pamrih dan lain sebagainya.

Itu tadi contoh-contoh judul yang pernah aku temui dan aku baca," kata Anto.

"Aku sudah bisa menangkap apa yang kamu jelaskan barusan. Tapi, kalau aku tetap ingin menggunakan judul yang aku pilih sendiri apakah itu salah?" tanya Andi kembali.

"Bukannya salah apabila kamu tetap ingin menggunakan judul yang kamu pilih. Tapi, ingat juga bahwa kita ini hidup bersosialisasi. Naskah kamu nanti akan kamu kirim ke penerbit dan di sana ada redaktur yang menyaring dan berhak menentukan perubahan apapun pada naskah kamu termasuk judul. Meski perubahan itu masih bisa dikompromikan tapi itulah wewenang redaktur, jadi apa yang menurut kita bagus belum tentu bagus menurut orang lain.

Kita harus berani menerima kritik dan saran dari orang lain untuk lebih meningkatkan kualitas karya kita. Jangan antipati dan menjadi marah apabila ada orang yang mengkritik karya kita," kata Anto panjang lebar.

"Sebagai penulis kita pun bisa berkreasi apa saja untuk menentukan judul. Jangan ragu untuk memodifikasi suatu judul yang populer, misalnya, Si Doel Anak Betawi, lalu kita ingin membuat cerita dengan judul modifikasi, Si Doel Bukan Anak Betawi, itu boleh-boleh saja, asal isi ceritanya bukan memodifikasi yang sudah ada.

Cara yang lain untuk menarik pembaca adalah dengan menggunakan judul yang berirama," kata Anto yang langsung dipotong oleh Andi. "Emang judulnya harus dilagukan, ya?"

"Bukan dilagukan tapi berirama, makanya kalau ada orang ngomong itu jangan dipotong, tapi dengerin dulu biar orang selesai ngomong kamu bisa ngerti," Anto jadi sewot melihat sahabatnya yang rada-rada gimana, gitu. Akhirnya, Anto melanjutkan, "Judul yang berirama itu misalnya, Gara-Gara Agar-Agar, Cimut si Semut, Galang sang Elang dan lain sebagainya."

"Oke-oke, panjang lebar kamu jelaskan aku juga dah ngerti kok, tapi aku kan penulisnya, jadi aku tetap ingin judulku yang dipakai, toh aku yang bikin cerita," Andi tetap ngotot dengan pendiriannya.

"Ya, sudah terserah kamu. Tapi kamu juga harus sadar siapa sih kamu? Apa karyamu sudah banyak bertebaran di media cetak? Kita boleh aja ngotot dan mempertahankan pendapat kita, tapi jangan sampai berani babi, apapun diterobos walau kepala sendiri jadi hancur. Kita harus bisa fleksibel dan tidak kaku dalam menyikapi segala sesuatu.

Kalau misalnya kamu sudah menjadi penulis terkenal, judul apapun yang kamu pasang, orang juga tetap akan membaca cerita kamu, karena kualitasnya sudah diakui, gitu lo. Jadi, JANGAN GILA DONG!," kata Anto menirukan gaya Ivan Gunawan di acara MamaSelebShow di Indosiar.


Powered by ScribeFire.

Pesan Moral dalam Cerpen Anak-Anak

"Anto, aku baru saja selesai menulis cerpen nih," ujar Andi sambil menyodorkan tiga lembar kertas ukuran kuarto pada Anto.

Anto mengambil kertas itu dan terdiam sejenak membaca deretan-deretan tulisan yang dihasilkan Andi. Beberapa saat kemudian, Anto mengembalikan kertas itu sambil manggut-manggut. Andi yang melihat tingkah laku Anto akhirnya bertanya.

"Kenapa kamu manggut-manggut, begitu?"

"Loh, emang nggak boleh aku manggut-manggut," Anto balik bertanya.

"Ya, nggak pa-pa. Cuman kesannya kamu seperti melecehkan hasil karyaku," kata Andi agak ketus karena tersinggung.

"Oh, maaf deh. Bukannya melecehkan, aku hanya merasa bahwa cerpen yang kamu buat itu terkesan menggurui banget," jelas Anto.

"Maksudnya?" Andi terus mengejar dengan pertanyaan.

"Iya, aku baca disitu kamu menceritakan seorang anak sekolah dasar yang berceramah mengenai narkoba kepada teman-temannya. Padahal anak itu baru kelas dua SD," jawab Anto.

"Apa salahnya kalo anak kelas 2 SD ceramah soal narkoba? Toh itu sah-sah aja, kan?" Andi menjawab tak mau kalah.

"Justru disitu salahnya. Kamu mesti hati-hati menempatkan seorang anak yang tiba-tiba menjadi "pintar" dan sok tahu. Seorang anak mestinya tidak bertindak seperti tokoh dalam cerpenmu.

Menurutku, alangkah lebih baik apabila jalan ceritanya diubah menjadi sebuah kejadian yang membuat sadar para pengguna narkoba itu tanpa harus ada kalimat-kalimat menggurui dan menceramahi.

Saat ini, anak-anak sudah tidak bisa lagi diberi pola ceramah. Akan lebih mengena apabila mereka membaca sebuah cerita yang mendidik dan mempunyai hikmah.

Tak perlu kata-kata, cukup berikan sebuah akibat akan kesalahan tindakan mereka, kurasa itu lebih mengena," jelas Anto panjang lebar.

"Aku masih belum mengerti," kata Andi terus terang.

"Begini. Aku pernah membaca tulisan Benny Rhamdani, seorang penulis cerita anak-anak. Dalam tulisannya mengenai pesan moral dalam cerita anak disebutkan bahwa pesan moral dalam sebuah cerita sebaiknya tidak berupa dialog nasehat dari tokoh keseharian yang memang sudah sering menasehati. Cerita model "kena batunya", akan lebih mengena untuk menyisipkan pesan moral, ketimbang nasehat panjang.

Kemudian, pesan moral yang diberikan sebaiknya jangan mengulang yang sudah sering disampaikan. Seperti jangan membolos, jangan mencuri dan sebagainya. Anak-anak yang membaca cerita ini tidak akan tertarik membacanya. Mencari pesan moral berdasarkan penggalian terhadap pengalaman pribadi. Coba ingat-ingat, pasti banyak yang bisa dipakai sebagai bahan cerita. Contohnya, doa buruk terhadap guru agar sakit sehingga lepas dari rencana ulangan besok.

Selain itu, kita juga harus berhati-hati dengan tokoh anak-anak yang tiba-tib jadi serba tahu dan 'sok tua'. Kecuali kalau memang itu sudah jadi karakter yang membangun cerita.

Dan yang terakhir, dalam memberi nasehat, efek ganjaran seperti menakut-nakuti memang sering mengena. Namun sebaiknya juga jangan terlalu berlebihan. Misalnya, karena sekali mencuri, seorang tokoh kemudian tangannya buntung. Hal itu, kan, sadis banget dan menimbulkan efek negatif pada anak-anak.

Gimana, jelas, kan?" tanya Anto mengakhiri penjelasannya.

"Sepertinya aku bisa memahami apa yang kamu jelasin barusan. Jadi, selama ini apa yang kamu lakukan dan kamu jelaskan padaku bersumber pada tulisan-tulisan Benny Rhamdani ini?" tanya Andi.

"Ya, iya lah. Selain dari dia, ada juga dari referensi lain. Makanya, sering baca dan ikutan milis dong biar berkembang pengetahuanmu," kata Anto.


Powered by ScribeFire.

Deskripsi dalam Cerpen

Melihat cerpen anak-anak yang dikirimnya dimuat, Andi segera berlari ke rumah Anto untuk memamerkannya.

"Anto....Anto.....!! Teriak Andi mulai dari rumahnya hingga ke rumah Anto (Bayangin aja, jarak rumah Andi ke rumah Anto sekitar 450 meter dan sepanjang perjalanan, Andi terus menerus meneriakkan nama Anto, Gokil kali ya si Andi ini).

"Ada apaan sih, teriak-teriak kayak tentara mau lapor perang aja," kata Anto yang malu karena hampir semua tetangganya keluar untuk melihat kehebohan yang dilakukan Andi.

"Ah, peduli amat, yang penting sekarang aku lagi bahagia. Nih lihat!" kata Andi sambil menyodorkan sebuah majalah ternama yang memuat cerpen anak-anaknya.

Setelah membaca beberapa saat, Anto mengembalikan kembali majalah ituu kepada Andi. "Wah selamat, ya. Cerpen mu akhirnya dimuat. Traktir aku dong," kata Anto sambil menyalami sahabatnya itu.

"Heeh, ntar kutraktir deh kalau duitnya dah cair. Tapi sekalian aku mau tanya deh. Aku kan membuat cerita dengan deskripsi yang kurasa sudah sangat jelas, tapi kenapa ilustrasi cerpenku berbeda dengan yang kubayangkan, ya?" tanya Andi pada Anto.

Sebelum menjawab, Anto kembali meminjam majalah yang tadi dibawa Andi. "Kejadian seperti ini memang sering terjadi. Akupun juga pernah mengalami beberapa kali ilustrasi cerpenku tidak sesuai dengan yang kudeskripsikan dalam cerita."

"Oh..kamu juga pernah mengalaminya to. Apakah kamu merasa kecewa?" tanya Andi.

"Kecewa? Tentu saja aku kecewa. Dalam cerita itu aku juga mendeskripsikan dengan sangat jelas, namun tetap saja ilustrasi yang dibuat tidak sesuai dengan deskripsi yang kuberikan.

Oleh karena itu, sekarang aku berusaha menghindari penulisan deskripsi yang berlebihan. Biasanya saya tulis yang universal. Dalam cerita pendek, hal ini dapat dengan mudah kita akali. Tapi, kalau menulis novel/novelet, mungkin untuk lebih membuat padat tulisan, kita akan lebih sering bermain dalam deskripsi ini.

Coba deh tanya pada anak-anak, apakah mereka menyukai penulisan deskripsi yang terlalu panjang dan jelas pada cerita kita? Hal ini bisa membantu kita dalam menulis sebuah cerita yang akan lebih diminati oleh anak-anak. Biasanya, anak-anak kurang menyukai penulisan deskripsi yang terlalu panjang, kecuali kita bisa memilih kata-kata yang mengundang minat untuk membacanya, itu lain soal.

Terus, kalau mau mendeskripsikan sesuatu, pikirkan bahwa deskripsi itu memang sesuatu hal yang penting. Misalnya, pasar, mall, toko atau jalan raya, kurasa tak perlu dideskripsikan, karena semua orang pasti sudah tahu bagaimana keadaan dan kondisi tempat-tempat yang kusebutkan tadi. Lain halnya, apabila kita ingin menjelaskan bentuk rumah di planet Pluto atau binatang-binatang yang ada di planet Mars," jelas Anto pada Andi panjang lebar.

"Oke deh. Aku makin paham sekarang. Gimana kalau kita makan bakso sembari kamu berbagi ilmu kepadaku mengenai tips dan trik menulis yang lain?" ajak Andi.

"Kalau untuk berbagai ilmu, aku nggak pernah minta bayaran. Tapi kalau ditawarin bakso aku juga nggak pernah menolak. Ente Jual Ane Beli deh pokoknya," jawab Anto sambil tertawa-tawa.

Akhirnya kedua sahabat itu berjalan menuju warung Bakso langganan mereka.


Powered by ScribeFire.