Kamis, 06 Desember 2007

Bermain dengan Setting (Lokasi)

Sudah satu minggu lebih Anto menghilang dari peredaran. Tak seorang pun tetangganya yang mengetahui kemana Anto pergi. Bahkan, Andi, sahabatnya pun hanya bisa mengangkat kedua bahunya bila ada orang yang menanyakan keberadaan Anto.

Sampai kemudian secara mendadak...mak..mbendukduk (klo kata orang Jawa), Anto nongol begitu saja dan berjalan dengan langkah ringan menuju rumah kontrakan Andi.

Andi yang sengaja ingin ke rumah Ano langsung lari menyambut sahabatnya itu. "Alhamdulillah, Anto kamu selamat!" teriak Andi sambil merangkul Anto dengan kuat.

Anto yang terkejut mendapat serangan mendadak seperti gelagapan mencari udara bantuan, maklum aja dekapan Andi pas banget membuat hidung Anto beradu dengan ketek Andi yang...ehm....silahkan bayangin sendiri deh gimana baunya.

"Aduh. Aduh... Ampun deh! Emang aku kenapa sih, pakai di-Alhamdulillah-i segala?" protes Anto yang terus meronta melepaskan diri dari dekapan Andi.

"Wah, aku kira kamu menghilang seminggu ini karena digondol wewe gombel," kata Andi.

"Asal aja kamu ngomongnya. Aku kan lagi jalan-jalan untuk cari ide dan referensi," jelas Anto akhirnya.

"Lho, emang mau ngapain lagi?" tanya Andi sambil mempersilahkan sahabatnya itu untuk masuk ke rumahnya.

"Seminggu kemaren aku jalan-jalan ke beberapa daerah dalam rangka mencari ide dan referensi mengenai setting (tempat) untuk cerita baru saya nanti.

Selama ini saya selalu menulis cerita dengan setting yang itu-itu saja. Dan kali ini saya ingin setting yang berbeda," tutur Anto.

"Emang harus jalan-jalan untuk menemukan setting cerita?" tanya Andi.

"Nggak harus sih. Setting bisa kita temukan dengan banyak membaca misalnya. Jadi meski tak pernah ke Amerika, kita bisa tahu dan membayangkan bagaimana bentuk trem di negeri Paman Sam itu atau bagaimana kondisi air terjun Niagara. Terus dari film-film yang kita tonton, kita juga bisa tahu, bagaimana pakaian kerajaan pada masa Raja Richard atau King Arthur.

Kita juga bisa tahu senjata apa misalnya yang digunakan pada zaman Salahuddin Al-Ayyubi dan segala pernak-perniknya tanpa harus kesana dan menjalani kehidupan saat itu.

Nah, khusus aku. Kemaren aku jalan-jalan ke Borobudur. Selain untuk refreshing, aku juga lagi pengin bikin cerita petualangan yang settingnya nanti mengambil lokasi di Candi Borobudur," jelas Anto panjang lebar.

"Oh... gitu, to. Emang sebegitu pentingnya setting dalam sebuah cerita, sehingga kamu harus datang sendiri ke Borobudur sana?" tanya Andi lagi.

"Bagiku, semua elemen cerita itu sama pentingnya. Hanya saja aku ingin lebih mendalami setting lokasi yang akan aku ceritakan. Dalam berbagai buku aku memang bisa mengetahui bagaimana sejarah Candi Borobudur, dimana letaknya dan seberapa banyak pengunjungnya. Tapi, bila aku berada di sana sendiri, aku merasa ada feel atau mood yang berbeda yang akan menambah "hidup" ceritaku nanti.

Aku pernah membaca di sebuah milis tentang penulis bacaan anak, bahwa ada beberapa trik yang biasa digunakan salah seorang penulis saat dirinya bermain dengan setting lokasi, yaitu:

Yang pertama, Menentukan setting lokasi kemudian mencari cerita yang sesuai.
Misalnya sang penulis ingin menulis tentang air terjun. Maka sang penulis akan merunut pada hal yang terkait dengan lokasi tersebut. Ambil contoh, anak-anak asongan di lokasi air terjun, lalu sang penulis mencari konflik untuk ceritanya. Bisa dengan membuat cerita si anak asongan menemukan barang berharga milik pengunjung, dan seterusnya.

Yang kedua, Mencari cerita kemudian menempelkan pada setting.
Misalnya saja sang penulis ingin menulis cerita tentang kebiasaan buruk anak, seperti mencela orang lain. Karena yang seperti ini bisa terjadi di mana saja, maka sang penulis bisa menempelkannya pada lokasi yang jarang penulis garap. Ambil contoh, di lokasi studio iklan karena si tokoh kebetulan bintang iklan.

Yang ketiga, setting yang umum.
Sang penulis jarang mendeskripsikan secara detail setting lokasi yang umum, seperti sekolah, pasar, rumah sakit, dan sejenisnya. Ada beberapa masalah yang sering kita temui jika menulis dengan detail, yakni penulis ingin membebaskan fantasi anak, kemudian penulis sering mengalami ruang yang terbatas dalam menuliskan deskripsinya dan terkadang ilustrasi yang dibuat tidak sesuai dengan teks cerita.

Yang keempat, setting khusus.
Untuk lokasi tertentu seperti candi Borobudur, pesawat ruang angkasa, justru sang penulis selalu berusaha membuat deskripsi dengan rinci. Karena tidak semua anak tahu setting tersebut, sehingga kita bisa membantu menggiring fantasi mereka dengan kata-kata," jelas Anto panjang lebar.

"Apa kamu juga mengekor apa yang penulis itu tuliskan di millis?" kembali Andi bertanya.

"Ini bukan masalah ekor-ekoran atau jiplak-jiplakan. Tapi kita semua saling belajar dan berbagi. Mungkin bagi sebagian orang, teknik yang dipergunakan sang penulis dalam milis itu cukup membantu, mungkin juga bagi kamu apa yang dilakukan sang penulis biasa saja dan kamu lebih suka teknik yang lain. Hal itu sah-sah saja.

Bagiku, teknik adalah cara dalam berproses. Menggunakan teknik apapun asal baik dan benar kalo menghasilkan cerita yang baik, nggak ada salahnya, kan?!" Jawab Anto.

Jumat, 23 November 2007

Kategori Cerita Pendek Anak-Anak

Jilid 2

Setelah berpakain rapi, Andi kembali keluar rumah untuk mengejar Anto yang sudah jalan lebih dahulu.

Dalam perjalanan, Anto menjelaskan bahwa cerpen buatannya berhasil dimuat di sebuah majalah anak-anak yang cukup terkenal, sehingga dia mendapatkan honor yang lumayan besarnya. "Kalau cuma ngabisin gerobak mie rebus Bang Maman, sih, cukup," kata Anto sesumbar.

Seperti biasanya (dalam cerita ini tentunya), Andi dengan antusias mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keberhasilan Anto meloloskan ceritanya untuk dimuat.

"Kamu pakai koneksi ya, To?" tanya Andi penasaran.

"Koneksi, mbah-mu. Kalau mau dimuat itu ya usaha keras dong! Jangan ngarepin koneksi kayak anak para pejabat," jawab Anto sewot karena merasa jerih payahnya dianggap nggak ada apa-apanya.

"Klo memang murni, kenapa punya kamu boleh dimuat, sedang punyaku kagak?" bantah Andi makin panas.

"Lha, kamu kirim kemana? Emang kirimnya ke majalah yang aku kirimin naskah juga?" Anto balas bertanya.

"Aku kemaren kirim naskah ke majalah "Dolanan Dewasa"," jawab Andi.

"Itu berarti naskah cerpen kamu, cerpen dewasa, dong," kata Anto.

"Enggak, naskahku sih naskah cerpen untuk anak seperti yang kamu bilang beberapa hari lalu," jelas Andi.

"Lha, klo itu sih salah kaprah. Klo mau kirim naskah anak harus ke majalaj untuk anak-anak juga dong. Jangan asal tembak gitu. Pantas aja nggak dimuat," kata Anto sambil nyerocos.

"Oh ya, kemaren kamu udah jelasin masalah dongeng untuk anak-anak. Lantas klo untuk cerpen, ada pembagiannya juga nggak?" tanya Andi.

"Pasti ada dong. Tapi lebih baik aku jelasin sambil makan mie rebus dulu, yuk. Bang, mie rebus dua, ya," teriak Anto pada Bang Maman.

Sembari menunggu mie rebus dihidangkan, Anto melanjutkan penjelasannya mengenai kategori cerpen pada Andi.

"Karena saking banyaknya ragam bentuk cerpen di majalah yang ada di Indonesia ini, bisa kita kelompok dalam beberapa jenis saja. Tapi mungkin juga bisa berkembang dan berbeda-beda dari yang akan aku omongin," kata Anto membuka penjelasan.

"Yang pertama adalah cerpen Realis. Cerpen ini yang paling banyak ditulis dan menjadi induk bagi genre jenis cerpen anak berikutnya.

Kemudian, yang kedua adalah cerpen Misteri atau Detektif-detektifan. Cerpen ini biasanya paling digemari karena mengundang rasa penasaran.

Yang ketiga adalah cerpen Misteri tapi bergenre Horor. Cerpen ini juga menarik minat dan punya tempat khusus di beberapa media anak-anak.

Keempat, cerpen jenis Komedi. Cerpen ini tentu saja merupakan jenis cerpen yang dibumbui cerita-cerita komedi dan lucu.

Kelima, cerpen Futuristik. Dari namanya pasti kamu sudah bisa menebak bahwa cerpen ini mengambil setting waktu masa depan.

Cerpen yang keenam atau yang terakhir adalah cerpen Momentum. Cerpen ini berhubungan dengan momen tertentu, misalnya cerpen tentang puasa, cerpen lebaran, cerpen agustusan, dan lain-lain," kata Anto mengakhiri penjelasannya.

"Oh, jadi selain dongeng, cerpen juga punya kategori, ya? Trus, apa klo kukirim ke media anak, bisa langsung dimuat juga?" tanya Andi.

"Ya... soal dimuat atau enggak itu soal nanti. Yang penting kita sudah berusaha dan mencoba. Sebelum kamu kirim lebih baik kamu pelajari dulu cerpen-cerpen yang dimuat di majalah yang akan kamu kirimi karyamu nanti. Dengan demikian, kita bisa tahu selera pembacanya dan selera redaksinya. Termasuk jumlah halaman yang harus kamu buat.

Kemudian, kirimkanlah beberapa cerpen sekaligus dalam satu amplop, dengan cerita yang bervariasi, baik seting maupun jenis ceritanya.

Lalu, jangan pernah menunggu cerpen kamu dimuat, baru mengirim lagi. Antrian di penerbit biasanya panjang karena bukan kamu seorang yang ngirim ke mereka dan banyak penulis yang lebih baik dari kita juga ikut mengirim naskah ke penerbit.

Nah, misal kamu udah kirim, yakinkan bahwa kamu masih pegang copy cerpennya, karena beberapa kali aku pernah menemukan naskah yang hilang. Lebih baik lagi tuliskan dalam surat pengantar, bahwa bila dalam setahun cerpen kamu tidak ada kabar, maka kita akan mencabut cerpen tersebut. Selanjutnya kamu bisa mengirim naskah itu ke media cetak lain, mungkin saja di majalah "A" naskah kamu tidak dimuat, tapi di media "B" naskah kamu langsung dimuat.

Selain mengirim naskah, lebih baik juga klo kamu mengikuti lomba-lomba yang diselenggarakan oleh majalah tersebut, karena membuka peluang nama kita dikenal oleh redaksi. Ya.. kan ada ungkapan, tak kenal maka tak sayang... gitu," jelas Anto panjang lebar.

"Masih ada lagi nggak tips-nya?" Andi bertanya.

"Ada satu lagi...." kata Anto.

"Apaan tuh?" tanya Andi penasaran.

"Tips ini adalah tips yang paling ampuh," kembali Anto berkata.

"Wah.. boleh tuh, boleh banget," Andi makin antusias.

"Tips terakhir ini adalah.... SEMANGAT!" kata Anto.

"Ya....... ," Andi kecewa mendengar tips yang terakhir.

"Udah nggak usah pakai "YA", capek ngomong ama kamu. Mending makan mie rebus. Nih, mie rebus kita dah siap untuk disantap," kata Anto sambil menerima semangkok mie rebus.

Selasa, 20 November 2007

Resensi, Apakah itu?

Suatu sore, Andi bertandang ke rumah Anto, sahabat karibnya. Setelah mengucap salam dan mendapat balasan, Andi pun segera masuk ke rumah sahabatnya itu. Andi melihat Anto sedang membaca sebuah buku, sementara di depannya tergeletak beberapa buku yang masih disampul dengan plastik, tanda bahwa buku itu adalah buku baru.

"Wah, lagi banyak duit nih, pakai borong buku sebanyak ini," kata Andi sambil mengambil sebuah buku novel tentang cerita cinta khas anak muda.

"Ah, nggak juga. Ini semua buku kiriman dari sebuah penerbit," jawab Anto.

"Lho, emangnya kamu menang lotere?" tanya Andi penasaran.

"Bukan. Ini buku kiriman mereka yang mesti aku resensi," jawab Anto singkat.

"Ah, capek banget harus baca buku sebanyak ini demi kepentingan orang lain," ledek Andi.

"Lho siapa bilang hanya demi kepentingan orang lain. Aku juga berkepentingan dan mendapat untung dari meresensi buku-buku ini," jelas Anto.

"Ah, masa'?" Andi melongo. "Gimana caranya?"

"Bagiku keuntungannya adalah aku bisa mendapat buku-buku gratis dan juga uang. Pertama, para penerbit memberiku buku -buku terbitan mereka yang terbaru untuk aku resensi. Yang kedua, bila aku mengirim resensi itu ke surat kabar, maka aku pun akan mendapat honor dari tulisanku itu. Enak, kan?" Jelas Anto sambil tersenyum.

"Wah, kalo gitu, ajari aku dong," rengek Andi seperti anak kecil.

"Oke. Tapi sebelum mengajarimu, aku akan memberi pengetahuan dasar tentang apa yang dimaksud dengan Resensi.

Dalam bahasa Belanda, kata 'recensie' itu sama artinya dengan kata 'review' dalam bahasa Inggris. Kedua kata itu bersumber dari bahasa Latin 'revidere'," Anto pun mulai menjelaskan pengetahuan dasar tentang resensi.

Sementara itu, Andi mendengarkannya sambil manggut-manggut kayak ayam matok biji jagung di tanah.
"Revidere itu berasal dari kata 're' yang berarti kembali dan kata 'videre' yang berarti melihat. Gimana, paham, kan?" tanya Anto.

"Hmm..." jawab Andi.

"Nah, dua arti kata tadi, bila digabungkan menjadi 'melihat kembali'. Kata ini meluas menjadi 'mengatakan kembali secara tertulis atas sebuah karya/buku secara obyektif."

"Hmm... kok pakai ngobyek segala sih. Emang resensi itu makelar juga, ya," potong Andi dengan ekspresi bingung.

"Ngobyek....ngobyek Mbahmu!" jawab Anto sewot. "Kubilang obyektif, bukan ngobyek sih."

"Oh, ya udah. Nggak usah sewot dong. Lanjut aja," kata Andi santai.

Dengan wajah masih sewot, Anto melanjutkan penjelasannya. "Dalam prakteknya, resensi dibedakan antara rewiew atau tinjauan buku dan criticism atau timbangan. Dalam me-rivew buku, kita tidak boleh membawa opini pribadi, meski hal itu sangat sulit untuk dihindari."

"Kenapa begitu?"

"Ya, sebab, mungkin saja kita bukanlah seorang ahli dalam bidang yang disajikan buku tersebut."

"Tapi, kalau kita menganalisanya?"

"Kalau begitu, kita tidak lagi membicarakan isi buku, tetapi konteks dan relevansi buku tersebut. Gimana, bisa paham, kan?" tanya Anto.

"Sedikit banyak aku bisa memahami apa yang kamu sampaikan," jawab Andi. "Menurut aku, ada beberapa hal yang bisa kita perhatikan dalam meresensi."

"Wah, apa itu?"

"Pertama, tujuan meresensi buku adalah menyajikan kepada pembaca apakah sebuah buku layak memperoleh sambutan atau tidak.

Yang kedua, pertimbangan yang kita sampaikan disesuaikan dengan selera pembaca. Oleh karena itu, pertimbangan yang disampaikan melalui media massa, berbeda-beda.

Ketiga, kita harus tahu betul tujuan pengarang buku.
keempat, kita mencantumkan riwayat buku: pengarang, editor, penerbit, tempat penerbit, jumlah halaman, harga buku, dan lain sebagainya.

Kelima, kita mesti mampu meyakinkan atau menunjukkan pada pembaca tentang buku baru atau buku yang telah langka, termasuk golongan manakah buku itu.

Keenam, kita harus pula menunjukkan keunggulan buku dari segi penulisan, organisasi buku, perwajahan, dan bahasanya.

Sekarang aku yang tanya sama kamu, gimana kesimpulanku tadi?"

Mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Andi, Anto hanya bisa melongo tak percaya. "Kok mendengar penjelasanku sebentar saja kamu sudah bisa menarik kesimpulan setepat itu?"

"Ya, iyalah. Kan aku sendiri selama ini juga banyak dapat keuntungan dari meresensi buku," jawab Andi sekenanya.

"Ha...!"

Kategori Cerita Pendek Anak-Anak

Tak seperti biasanya, hari ini Anto tampak berjalan-jalan keliling kampung dengan wajah ceria dan bibir yang dimonyongkan (baca: bersiul). Beberapa kali tampak Anto menyapa dengan ramah para tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya. Tidak cuma orang (baca: manusia), bahkan hewan pun (baca:...nggak perlu diterangin lagi dong?!) turut mendapat sapaan yang ramah darinya.

Memang, kalau lagi dapat rezeki, Anto suka bertingkah sedikit norak dan merasa seperti orang kaya baru sehingga semua harus disapa dan ditegur supaya ditanya dan dia bisa menjawab "Ah, tidak ada apa-apa kok, cuman baru dapat rezeki aja".

Jawaban yang sok merendah padahal niatnya pengen pamer (hayo...mirip siapa hayo?). Tapi, biar suka sedikit pamer gitu, Anto bukan orang yang pelit. Buktinya, langkah kakinya menuju rumah sahabatnya, Andi, dengan langkah ringan.

"Assalamualaikum...!" teriak Anto dari luar pagar tetangga Andi (lho kok luar pagar tetangga sih? Maklum kontrakan Andi kan paviliun, jadi tiga rumah pakai satu pagar).

"Waalaikumsalam....!" jawab Mak Lela yang tinggal di sebelah rumah Andi.

"Wah.. maaf Nak, kalau mau minta sumbangan mesti punya surat keterangan dari pak RT dan Pak RW dulu," jawab Mak Lela sekenanya karena melihat Anto membawa-bawa majalah yang dikiranya map berisi permintaan sumbangan.

"Waduh saya bukan mau minta sumbangan Mak, saya Anto temennya Andi. Andi-nya ada Mak?" teriak Anto yang agak sewot karena disangka mau minta sumbangan.

"Oh... Anto, to, kirain orang mau minta sumbangan. Habis pakai bawa map ama pakai kopyah sih, Mak pikir tukang minta sumbangan," jawab Mak Lela sambil membukakan pintu pagar untuk Anto.

"Makanya Mak, kacamatanya dipakai biar nggak salah sangka," kata Anto.

"Eh, iya. Mak sampai lupa naruh kacamata tadi dimana, ya?" kata Mak Lela sambil celingukan nggak jelas.

"Yah, Emak, pakai celingukan lagi. Kan, kacamatanya dah nangkring di jidat sedari tadi," jawab Anto.

"Astagfirullah Hal'adzim, pantas dari tadi Mak ngubek-ngubek lemari dan bufet kagak ketemu-temu, nggak tahunya nangkring di jidat. Dasar kacamata nggak sopan," gerutu Mak Lela sambil ngebenerin letak kacamata di hidungnya.

Anto yang melihat tingkah Mak Lela hanya senyam-senyum sambil garuk-garuk kepala.

"Andi-nya ada, Mak?" tanya Anto lagi.

"Nggak tahu, tuh. Sedari tadi nggak kelihatan keluar rumah, sakit kali," jawab Mak Lela sambil ngeloyor pergi masuk ke rumahnya.

"Lho, Mak Lela mau kemana?" tanya Anto.

"Mau nerusin main PS, nanggung neh, main Pro Evolution lagi kalah dua satu lawan Perancis gara-gara nggak pakai kacamata," jawab Mak Lela sambil nutup pintu rumahnya.
Gubrak!! hampir aja Anto jatuh terduduk mendengar jawaban Mak Lela. Nggak nyangka, dah umur 65 tahun masih doyan main PS juga, pikir Anto sambil ngelus dadanya.

"Assalamualaikum.....," teriak Anto lagi, tapi kini sudah di depan pintu kontrakan Andi. Tok, tok, tok. "Assalamualaikum....."

"Waalaikumsalam," terdengar jawaban, tapi dari arah rumah Mak Lela. "Ampun deh, banyak banget tamu hari ini. Gangguin orang main PS aja, neh!" Mak Lela keluar rumah dan langsung menuju pagar.

"Lho, kok nggak ada orang, tapi ada suara. Hiiii... jangan-jangan ada hantu di siang bolong," jerit Mak Lela sambil lari masuk ke rumah kembali.

Anto yang melihat kelakuan Mak Lela sampai ngakak guling-guling di depan pintu rumah Andi.

"Lho, kamu ngapain guling-guling di sini, To. Emang mau tayammum. Kalau mau mandi junub lebih baik mandi pakai air jangan pakai debu di depan rumahku dong. Ntar disangka orang gila, lho," kata Andi yang tiba-tiba nongol sambil buka pintu.

Melihat Andi sudah keluar, Anto seketika menghentikan aksi guling-gulingnya. "Ah, kamu, Di, giliran dipanggil nggak keluar-keluar, gilirang orang nggak manggil, tiba-tiba nongol begitu aja. Ngapain aja sih di dalam rumah, kayak ayam bertelur aja," balas Anto nggak mau kalah.

"Tadi tuh aku lagi tidur, ngantuk banget nih. Emang ada apaan sih, tumben kamu mau mampir ke rumahku," tanya Andi penasaran. Sebab, nggak biasanya Anto mau main ke rumahnya.

"Aku mau ngajak kamu makan mie rebus di warung Bang Maman, neh," kata Anto.

"Wah, lagi dapat togel kamu, pakai ngajak makan-makan segala," goda Andi.

"Udah, nggak usah banyak cincong, mau nggak?" tanya Anto rada gedek liat gaya Andi yang banyak nanya. Mau dikasih enak, nanya mulu lagi, pikir Anto.

"Mau banget, dong. Cuman kalau mau nraktir orang jangan tanggung-tanggung dong," kata Andi.

"Maksud loe?"

"Ya, jangan cuma mie rebus Bang Maman, sekali-sekail pizza, kek, hamburger, kek,...."

"Tokek, kek. Mau makan tokek?" potong Anto yang makin sewot lihat kelakuan Andi. "Mau nggak, kalau nggak aku jalan sendiri nih," kata Anto sambil langsung ngeloyor pergi.

"Eh, mau, dong, mau!" teriak Andi sambil berlari menyusul Anto.

"Woi, apa-apaan kamu, masak mau ikut ke Bang Maman kayak begitu?" ganti Anto yang teriak melihat Andi berlari menyusulnya.

"Lho emang kenapa?" tanya Andi kebingungan.

"Celana kamu mana? Emang kamu mau pergi pakai kolor doang?" jawab Anto cengingisan.

Begitu sadar melihat keadaannya, Andi langsung masuk ke dalam rumah secepat kilat (benar-benar secepat kilat, kayak The Flash).

(bersambung dulu ya......
sambil jangan lupa isi komentarnya dong! Biar bisa diperbaiki kekurangan blog ini.
Terima kasih)

Menulis Ulang, Menerjemahkan, Mengadaptasi dan Karya Sendiri

Menulis Bacaan Anak
(Seri 6)

Dongeng:
Menulis Ulang, Menerjemahkan, Mengadaptasi dan Karya Sendiri

Sabtu malam minggu, Anto sedang asyik-asyiknya menikmati sebatang rokok yang mereknya bisa buat belajar berhitung. Hisapannya yang dalam menandakan bahwa dia sangat menikmati sekali rokok tersebut.

"Hallo, Brur. Sendirian aje nih. Nggak malam mingguan?" tiba-tiba Andi datang dan langsung duduk di kursi sebelah Anto.

"Alah, kayak kamu yang malam mingguan aja. Kamu sendiri nggapain ke sini?" Anto balas bertanya.

"Aku ke sini, ya.. untuk nemenin kamu biar nggak sendirian. He.he.he...," jawab Andi sambil nyengir.

"Udah, ah. Sesama jomblo dilarang meledek," kata Anto. "Eh, gimana dengan cerita dongeng kamu, apa udah jadi?"

"Ya...ada sih ide dan siap digarap. Tapi, ada ladi yang bikin aku bingung nih," jawab Andi.

"Kamu tuh bingung melulu. Kapan enggaknya sih. Bingung apa lagi?"

"Itu, aku dah ada ide, tapi dongengnya kan sudah sering didengar orang. Jadi, apa boleh aku buat cerita dongeng itu dan aku kirimkan ke lomba menulis dongeng itu?" tanya Andi.

"Ya, kalau mau ikut lomba menulis dongeng sih, jangan pakai dongeng yang sudah pernah ada. Cari dong ide cerita lain. Klo kamu pakai dongeng yang sudah ada di masyarakat itu namanya bukan nemu ide. Tapi kopas doang," sindir Anto.

"Apaan lagi tuh kopas?" tanya Andi kebingungan.

"Kopas itu Kopi-Paste alias menjiplak mentah-mentah," jawab Anto.

"Wah, ya enggak lah. Banyak kok cerita-cerita dongeng rakyat yang penulisnya berbeda-beda. Aku pernah lihat dongeng Sangkuriang diceritakan oleh si Anu, dongeng Malin Kundang diceritakan oleh si Anu dan banyak lagi," bantah Andi.

"Kalau yang begituan, memang ada semacam "kode etik"-nya. Jadi, nggak sembarangan aja main bikin dongeng yang sama dan mencantumkan namamu sebagai penulisnya," jelas Anto.

"Jadi, harus gimana dong?" kini Andi semakin meminta penjelasan karena dia makin bingung mendengar jawaban dan penjelasan dari Anto.

"Ya.. nggak gimana-gimana," goda si Anto yang tertawa ngakak melihat mulut Andi yang memble jadi makin memble karena manyun.

"Oke-oke," kata Anto akhirnya. "Aku jelasin deh. Dulu, waktu pertama kali mau menulis dongeng, aku pernah membaca di milis Penulis Bacaan Anak mengenai masalah title pengarang ini. Yang aku ingat, pertama adalah menulis ulang. Artinya, dongeng yang kita buat bukanlah karya orisinil kita. Umumnya diambil dari cerita rakyat yang sudah sulit untuk dilacak pengarangnya. Contohnya, seperti yang sudah kamu sebutkan tadi, yaitu Sangkuriang, Malin Kundang dan yang lainnya. Untuk dongeng-dongeng seperti ini kita boleh menulis ulang dongeng tersebut dengan versi yang mungkin lebih baik.

Kemudian yang kedua adalah menerjemahkan. Menerjemahkan berarti dongeng yang kita buat merupakan hasil terjemahan dari karya-karya asing. Bagi penulis pemula, menerjemahkan merupakan titik awal yang baik. Dari sini mereka bisa mempelahari berbagai hal, termasuk penggalian ide. Selama dongeng itu baik dan belum banyak beredar, biasanya majalah atau tabloid anak-anak mau menampung karya-karya terjemahan.

Yang ketiga adalah mengadaptasi. Bagi sebagian penulis dongeng, sekedar menerjemahkan begitu saja mungkin kurang puas. Maka sebuah dongeng dari negeri China, bisa saja berubah di tangan penulis ini. Dengan memindahkan setting ke tanah Jawa, mengganti nama dan tokoh yang berbau Jawa... maka lahirlah sebuah dongeng adaptasi. Tentu saja si penulis tetap dituntut kejujurannya menulis sumber aslinya.

Dan yang keempat atau terakhir adalah karya sendiri. Jika dongeng itu benar-benar orisinil muncul dari kepala kita, maka menjadi hak kita untuk mencantumkan nama kita begitu saja. Tanpa embel-embel; dikisahkan kembali oleh, diterjemahkan oleh, diadaptasi dari.... Memang kadang redaksi agak ragu. Apalagi, kalau dongeng yang kita buat mengambil setting di negara-negara nun jauh di sana. Untuk itu, di surat pengantar, kita boleh meyakinkan para dewan redaksi bahwa dongeng itu memang asli karya kita sendiri. Begono."

Anto yang sedari tadi menerangkan sambil merokok dan menatap ke depan, kaget setengah modar melihat Andi asyik molor di bangku sebelahnya. "Lho? Dasar semprul, orang berbusa-busa neranginnya, kamu malah molor".

Dongeng Kontemporer

Menulis Bacaan Anak (Seri 5) Dongeng: Cerita Tanpa Batas Kontemporer

Sambil menunggu kembalian uang pembelian bakso, Anto memberikan tips-tips ringan dalam membuat sebuah dongeng.

"Andi, nggak perlu pusing-pusing kalau mau membuat cerita atau dongeng itu. Untuk langkah awal, kamu bisa tentuin dulu jenis dongeng apa yang ingin kamu buat. Kemudian, pikirkan setting waktu dan tempatnya," kata Anto.

"Boleh nggak settingnya di negeri Perancis ceritanya?" potong Andi.

"Boleh-boleh aja. Tapi mending jangan terlalu jauh dulu. Karena kita hidup di Indonesia, akan lebih mengena apabila kita membuat dongeng yang mengambil setting di Indonesia. Setelah itu, baru buat jalan ceritanya. Tonjolkan keajaiban apa saja yang akan dimunculkan, tapi inipun nggak harus selalu. Dan jangan lupa, perhatikan ejaan yang kamu pergunakan. Kamu tuh biasanya asal sudah nulis, nuliiiiiiiis aja, tanpa perduli bener apa nggak ejaannya. Trus titik komanya udah tepat belum penempatannya. Klo sembarangan begitu biar bagus, orang lain juga jadi nggak seneng bacanya. Klo untuk lomba, bisa dipastikan nggak bakal memang naskah kamu," jelas Anto.

Ternyata rasa kenyang makan bakso, tidak mempengaruhi kelaparan Andi akan informasi mengenai kategori dongeng. Setelah beristirahat sejenak dan menikmati segelas air es, Andi kembali membombardir Anto dengan berbagai pertanyaan.

"Ternyata banyak juga, ya jenis dan macam cerita pendek. Trus, aku pernah lihat dan baca sebuah cerita untuk anak yang isinya itu ada kejadian yang ajaib tapi terjadi di dunia nyata, artinya ceritanya relistis tapi dicampur dengan peristiwa-peristiwa yang ajaib. Klo begitu masuk yang mana, ya?"
Setelah menyeruput air minumnya, Anto pun menjawab. "Setahuku, cerita seperti yang kamu katakan itu masuk dalam kategori cerita atau dongeng kontemporer. Cerita atau dongeng kontemporer ini merupakan perpaduan cerpen (cerita realita) dengan keajaiban".

"O... gitu. Jadi kalo sekarang nih, misalkan air es di dalam teko ini tadinya ada. Kemudian aku tuang ke gelasku dan glek-glek, habis tak bersisa. Itu juga termasuk cerpen kontemporer, ya?" tanya Andi sambil meletakkan kembali gelas yang isinya sudah diminum habis.

"Ya..tidak sesederhana itu. Klo di alam realita dan kemudian dibumbui dengan keajaiban-keajaiban itu baru bisa dimasukkan ke dalam cerita kontemporer. Klo cuman begitu....," Anto menghentikan kata-katanya sesaat. Matanya melotot melihat air es di teko telah ludes dihabiskan oleh Andi. "Klo begitu, kamu yang nggak bener. Pura-pura nanya tapi sambil ngabisin air es sisa terakhir di teko. Dasar kamu, ya...Eh mau kemana kamu?"

"Sori, To, aku ada perlu mendadak," teriak Andi yang berlari menjauh sambil menutupi kepalanya yang jadi sasaran lempar tutup teko oleh Anto.

Fabel

Menulis Bacaan Anak (Seri 4)

Dongeng: Cerita Tanpa Batas
Fabel

Sambil makan bakso Malang yang rasanya mantaf benar, Andi mencoba menggiring pembicaraan ke arah semula, yaitu penjelasan mengenai kategori cerita dongeng.

"Nto, setelah fairy tale, adakah kategori dongeng yang lain?"

"O..oada," jawab Anto dengan mulut yang penuh dengan bakso super isi telur puyuh. "Selain yang sudah kita bicarakan, ada dongeng yang dikategorikan ke dalam dongeng fabel."

"Fabel itu tentang apa?" tanya Andi.

"Dongeng fabel itu dongeng yang tokoh-tokohnya adalah binatang. Biasanya dongeng ini lebih bagus apabila dibuat dalam bentuk cerita bergambar. Sebab, biasanya anak-anak lebih suka melihat visualisasi dari sebuah cerita. Dan juga, biasanya ada misi tersembunyi dalam dongeng atau cerita fabel, yaitu mendekatkan anak-anak pada dunia satwa," jelas Anto.

"Kamu tahu nggak contohnya fabel seperti apa?" tanya Andi sambil menambahkan sambel ke mangkok baksonya.

"Contoh cerita atau dongeng fabel kamu sendiri aku yakin sudah pernah membaca dan melihatnya. Kamu pernah baca cerita-cerita dari Disney, kan?" tanya Anto yang dijawab ehem oleh Andi karena mulutnya penuh siomay goreng.

"Nah, untuk jenis dongeng fabel ini, Disney memang tiada lawan," lanjut Anto. "Lion King, misalnya, cerita ini sangat disukai oleh anak-anak hampir di seluruh belahan dunia."

"Kalo di Indonesia ada nggak cerita yang masuk kategori fabel, jangan hanya contoh dari luar negeri aja, dong," sergah Andi.

"Ehmm, kalo di Indonesia, cerita si Kancil, kali ya. Banyak juga sih, cuman aku lagi lupa, maklum bakso Malang ini enak sekali, jadi otakku isinya cuman bakso-bakso dan bakso. He..he..he..he...," jawab Anto sambil terkekeh sampai muncrat kunyahan bakso dari mulutnya.

Fairy Tale

Menulis Bacaan Anak
(Seri 3)

Dongeng: Cerita Tanpa Batas
Fairy Tale


Anto masuk lebih dulu ke dalam rumah diikuti Andi. Sejak dalam perjalanan pulang, Andi tak henti-hentinya bertanya tentang pembagian dongeng. Anto yang tetap bersikukuh tidak mau mengatakannya di perjalanan, kini menyuruh Andi untuk duduk dulu di teras depan sementara ia menyiapkan seteko es sirup rasa jeruk untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.

"Minum dulu, Ndi," kata Anto sembari meletakkan teko di atas meja.

"Terima kasih, Nto," jawab Andi. "Jadi kelanjutan dongeng tadi gimana, Nto?"

"Ya, menurutku sih, yang pertama adalah dongeng tentang asal-usul tadi. Kemudian, yang kedua adalah fairy tale yang mengisahkan tentang kehidupan peri atau setidaknya menghadirkan peri dan keajaiban didalamnya," jelas Anto.

"Wah, jadi fairy tale ini bisa mengisahkan cerita yang ngaco dan aneh-aneh, asal ada peri dan keajaibannya gitu?" tanya Andi asal.

"Ya, nggak selalu begitu sih. Meski seorang Kahlil Gibran pernah mengatakan bahwa fantasi anak-anak itu tidak memiliki batas, tapi menurutku, kita mesti memikirkan sedikit logika di dalamnya. Ya...minimal ada sedikit benang merah yang membuat keanehan, keajaiban atau ke-ngaco-an itu bisa diterima oleh alam pikiran anak-anak," Anto kembali menjelaskan pengertian fairy tale pada Andi.

"Misalnya?" Andi menuntut penjelasan lebih lanjut.

"Misalnya, ya..... seorang anak yang tiba-tiba bisa bicara dengan semua binatang. Kita harus memberikan sedikit cerita yang menjadi benang merah kenapa anak itu tiba-tiba bisa bicara dengan binatang. Apakah karena dia masuk ke sebuah lemari yang tembus ke negara dongeng yang penghuninya semua binatang. Atau bisa juga karena dia memegang kalung milik neneknya yang mempunyai kekuatan ajaib. Apabila anak itu mengenakan kalung neneknya, maka ia akan bisa berbicara dengan binatang, jika tidak, maka ia tidak bisa mengerti bahasa binatang, begitu," jawab Anto.

"Tapi, kalau kubaca di dongeng-dongeng HC Andersen, nggak pernah tuh diceritakan asal-usul kenapa boneka kayu yang berwujud seorang prajurit bisa bicara," bantah Andi.

"Ya...kan kubilang nggak selalu begitu. Hanya saja anak sekarang ini pola berpikirnya beda dengan anak dulu. Jika dulu kamu nggak pernah tanya kenapa boneka kayu prajurit itu bisa bicara tanpa sebab, mungkin saja anak sekarang malah mempertanyakannya. Sebab, ia tidak melihat boneka beruangnya bisa bicara, ya kan?" terang Anto.
Andi hanya mengangguk-angguk mencoba mengerti. "Trus kalau....." Sebelum Andi meneruskan pertanyaannya, Anto sudah melambaikan tangannya memanggil tukang bakso yang sedari tadi teriak-teriak menjajakan dagangan baksonya.

Senin, 19 November 2007

Dongeng: Cerita Tanpa Batas

Ini merupakan rangkaian cerita bersambung mengenai "Menulis Tentang Dongeng"
Setelah seri pertama yang berjudul "Menemukan Ide", kini saya hadirkan seri kedua mengenai dongeng.


Dongeng Asal-Usul

Anto sedang jalan-jalan ke toko buku yang ada di kotanya. Ia berjalan sendirian dan sebenarnya tanpa tujuan. Ia hanya ingin melihat-lihat perkembangan buku cerita anak saat ini.

Di sebuah rak tinggi di pojok toko buku, Anto melihat tumpukan buku anak yang berwarna-warni. Tampilannya sangat bagus dengan warna-warna ceria dan menarik minat anak-anak (Eye Catching, kalau menurut para desainer). Ia mengambil sebuah buku yang berjudul 'Asal-usul Kota Banyuwangi'. Membacanya sebentar kemudian meletakkannya kembali ke tempat asalnya.

Matanya kembali menyusuri tumpukan buku lain yang berada di rak. Satu dua buku diambilnya, dan dibacanya sekilas. Masing-masing berjudul 'Manik Angkeran dan Malin Kundang'.

Sedang asyik-asyiknya membaca dan membandingkan dua buku, tiba-tiba Andi muncul disebelahnya.

"Hayo, lagi ngapain?" tanya Andi mengagetkan Anto yang sedang serius.

"Setelah menoleh sebentar, Anto pun menjawab, "Kamu itu, jangan suka ngagetin orang kenapa? Kalau aku jantungan, bisa mati aku. Ngapain kamu ke sini?"

"Lho, kan aku duluan yang tanya ngapain kamu?" kata Andi.

"Cari buku," jawab Anto.

"Buku apa?" tanya Andi lagi.

"Apa aja sih. Cuman kayaknya pengin beli buku dongeng neh," jawab Anto.

"Kamu kan bukan anak-anak lagi, untuk apa beli buku dongeng, emang mau jadi pendongeng?" ledek Andi.

"Bukan begitu. Aku lagi pengin nulis tentang dongeng. Dan untuk itu, aku mau punya referensi dulu. Caranya, ya beli buku dongeng ini," jawab Anto.

"Eh, aku punya dongeng lho, mau?" tanya Andi.

"Mau banget dong," jawab Anto antusias. "Dongeng tentang apa?"

"Dongeng tentang kakekku. Beliau adalah orang yang senang bekerja keras, baik sama keluarga, dan suka menolong. Bahkan, pernah jadi ketua RT di kampungku," jelas Andi lebih semangat lagi.

"Uh....itu sih bukan dongeng. Emangnya aku mau bikin biografi," ujar Anto lemes. "Yang aku maksud itu, adalah dongeng asal-usul."

"Oh, jadi dongeng itu hanya tentang asal-usul," kata Andi.

"Dongeng bukan hanya tentang asal-usul. Dongeng bisa juga tentang kisah para peri atau yang biasa disebut Fairy Tale, Fabel yang isinya tentang kehidupan para binatang dan banyak lagi. Tapi saat ini aku hanya perlu dongeng tentang asal-usul."

"Bisa lebih jelas lagi, nggak. Apa sih dongeng asal-usul itu?" pinta Andi.

"Dongeng asal-usul itu adalah bentuk dongeng yang menceritakan tentang asal muasal nama suatu daerah atau benda. Di Indonesia banyak banget contoh tentang dongeng asal-usul. Misalnya, Sangkuriang, Danau Toba, Malin Kundang dan lain-lain," jelas Anto.

"Trus kalau...." belum selesai Andi mengungkapkan pertanyaannya, seorang pramuniaga mendekati mereka.

"Maaf, pak. Saya mau masukin buku ke dalam rak ini," kata pramuniaga itu.

"Oh ya, maaf mbak. Ayo Ndi kita pulang sekarang," ajak Anto.

"Lho, kamu nggak jadi beli bukunya," tanya Andi.

"Bulan depan, deh!" jawab Anto sambil berjalan pergi meninggalkan Andi yang bengong di belakangnya.

Andi Menemukan Ide

Suatu hari Anto tengah duduk di teras rumahnya sambil menikmati pisang goreng anget dan didampingi secangkir kopi (maklum Anto belum nikah, jadi yang mendampinginya bukan istri. Hi..hi..hi.).

Tengah asyik mencomot pisang yang kedua dan menyeruput kopi untuk yang kesekian kalinya, Andi datang berkunjung.

"Wah, asyik neh, sore-sore makan pisang goreng anget ditemani secangkir kopi panas. Apalagi habis hujan deras begini," goda Andi yang langsung duduk dan mencomot pisang goreng di meja.

"Ya...namanya juga masih bujang, Ndi. Kalau dah kawin, habis hujan begini mending "bertapa" di dalam kamar bareng istri," balas Anto. "Lagian, tumben kamu datang kesini habis hujan-hujan. Biasanya, kamu malah asyik molor klo hujan deras".

"Nggak tahu neh, Nto. Tiba-tiba aja tadi pengin ke sini, rupanya Allah menunjukkan aku bahwa di sini ada rezeki berupa pisang goreng anget, cuman kurang kopinya aja," jawab Andi asal-asalan.

"Ah, kamu. Kalau mau bikin aja sendiri sana. Kopi dan gulanya ada di belakang. Kebetulan air panasnya juga masih ada sisa banyak, jadi tinggal tuang aja," kata Anto.

"Wah, terima kasih neh. Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali, jadi aku tidak akan menolak tawaran baikmu," kata Andi yang langsung ngeloyor ke belakang untuk membuat kopi panas.

Setelah kembali duduk di sebelah Anto, Andi segera menyeruput kopi panasnya dan kembali mengambil satu pisang goreng anget. Matanya sesekali melirik ke arah Anto. "Nto, kamu ikut nggak lomba penulisan di majalah anak-anak 'Mau Apa'?"

"Ikutan dong. Kan lumayan kalau menang, hadiahnya 4 juta, Bo," jawab Anto. "Kamu sendiri ikutan, nggak?"

"Penginnya sih ikutan. Cuman kok susah banget cari idenya," Andi menjawab dengan pasrah. "Makanya bantuin dong cari idenya".

"Biar banyak ide tuh, orang mesti sering membaca, menambah dan memperluas pengetahuan, juga mesti G 4 U L," jelas Anto.

"Apaan tuh, G 4 U L?" tanya Andi.

"Itu artinya GAUL. Jadi orang tuh mesti gaul biar tahu informasi. Jadi otak nggak beku," jawab Anto.
"Nah, sekarang coba kamu sebutkan satu benda yang ada di sekitar kamu".
Andi tampak celingak-celinguk mencari benda aneh dan unik di sekitarnya. Karena nggak sabar, Anto pun berkata, "cepetan dong, apa kek gitu. banyak benda di sini kok susah banget nyebutnya."

"Ya..tunggu, dong. Kan mesti cari benda yang unik dan aneh," jawab Andi sok tahu.

"Ngapain harus sulit-sulit cari benda yang unik dan aneh. Yang unik itu ceritanya bukan bendanya. Benda biasa aja kalau kamu bisa merangkai ceritanya dengan baik bakal jadi cerita yang unik dan menarik," jawab Anto sambil menjelaskan.

"Lho, benda yang unik kan juga menentukan," bantah Andi membela diri.

"Emang bener, cuman klo nggak nemu yang unik kenapa mesti dipaksain. Trus klo nggak nemu, nggak bikin cerita gitu," jawab Anto. "Ya udah sebutin benda apa aja, sekarang!"

"Ehmmmm......... cincin, deh," kata Andi.

"Oke. Cincin," ulang Anto. "Cincin biasa dipakai oleh siapa?"

"Ehm... kayaknya siapa aja bisa pakai cincin," kata Andi.

"Cari yang nggak bisa dan biasa dong. Katanya mau cerita yang unik," jawab Anto nggak sabaran.

"Dipakai siapa dong. Kalau aku bisa sih nggak bakal susah cari ide begini," Andi menjawab tak mau kalah.

"Ya, makanya aku bantu untuk menemukan ide dan nyiptain cerita yang unik dari ide itu. Usaha dong, maunya terima beres aja sih."

"Aku bener-bener nggak tahu neh," Andi menyerah.

"Oke, begini misalnya. Cincin. Cincin itu dipakai oleh bayi yang ditemukan di tempat sampah. Saat ditemukan, di jari bayi itu terdapat sebuah cincin emas dengan tulisan "AW". Nah, dari huruf itu cerita bisa dikembangkan.

Misalnya, huruf "AW" ternyata adalah inisial seorang pengusaha yang masih mempunyai keturunan ningrat, dan bayi itu merupakan anaknya yang terlahir dengan kekurangan fisik, atau disebabkan oleh hal lain.

Nah, ide telah kita temukan. Sedikit pengembangan cerita telah kita rumuskan. Tugas kamu sekarang, tinggal membuat cerita dari ide dan sedikit pengembangan tadi. Bisa, kan?" tanya Anto.

"Sip. Kalau kayak begini, aku dah bisa bikin cerita. Oke aku pulang dulu ya," kata Andi sambil pamit pulang.

Belum sepuluh langkah, Andi tiba-tiba balik kembali. "Ada lagi yang belum jelas, Ndi?" tanya Anto.

"Eh, nggak kok. Cuman ini, boleh nggak aku pulang sambil bawa empat pisang goreng anget itu," kata Andi malu-malu.

"Uhhh, kirain apaan. Dasar nggak mau modal kamu".

Cerita terinspirasi dari sebuah milis penulis anak asuhan Benny Rhamdani.