Jumat, 30 Mei 2008

Warna Ceria pada Buku Anak

Menjadi seorang penulis buku anak dirasakan banyak penulis sebagai hal yang sulit. Hal ini, ternyata juga dialami oleh Andi yang memang menulis apapun akan merasa kesulitan he..he..he...

Hari ini, Andi kembali mengunjungi Anto, sahabatnya, untuk bertanya mengenai masalah buku anak.

Sesampainya di rumah Anto, Andi langsung saja menyodorkan naskah cerita anak yang baru saja ditulisnya.

"Tolong liatin dong, Nto!" kata Andi pada sahabatnya yang juga tengah menulis sebuah naskah pesanan salah satu tabloid anak-anak.

"Ini naskah baru atau naskah lama?" tanya Anto tanpa memegang naskah Andi sama sekali.

"Naskah baru dong!" sambar Andi.

"Bagus atau lumayan atau kurang bagus atau bahkan jelek?" tanya Anto lagi tetap tanpa menyentuh naskah Andi.

"Pasti bagus!" yakin Andi pada Anto.

"Kalau pasti bagus, ya sudah, kirim aja. Nggak usah tanya pendapatku," celetuk Anto sekenanya.

"Yeee...dimintai tolong temen kok pelit banget sih!" protes Andi dengan nada kesel.

Bayangin aja! (harus bener-bener dibayangin, ya)

Waktu berangkat daari rumahnya menuju rumah Anto saja, perjalanan Andi penuh perjuangan. Baru sampai di depan gang rumahnya, Andi melihat Bang Joni (nama aslinya sih Yono, tapi karena lama di Jakarta dia rubah namanya jadi Joni. Kenapa bukan Yoni? Ya...klo Yoni kan kalah keren. Tapi Joni....wah nama orang gedongan tuh!)

Nah, pas melihat Bang Joni si tukang kredit itu, Andi langsung saja balik lagi ke rumahnya dan ngumpet sampe Bang Joni yang manggil-manggil namanya bosen dan meninggalkan rumahnya. Nggak perlu dong dikasih tahu alasan kenapa Andi harus kabur dari Bang Joni.

Yang kedua yang harus dialami Andi adalah begitu lolos di gang pertama, Andi masih harus bertemu dengan Juminten yang jualan jamu. Melihat Juminten yang agak-agak centil ini, Andi pun harus ngumpet di balik pohon sawo milik Pak Haji Safii. Baru setelah Juminten lewat, Andi buru-buru lari menuju rumah Andi.

Klo masalah, Juminten, sebenarnya, Andi nggak punya utang meski sering minum jamu tanpa bayar. Masalahnya adalah Andi udah kadung janji akan nikahin Juminten sejak Lebaran tiga tahun lalu. Nah itulah yang bikin Andi jadi malu hati klo harus ketemu sama Juminten.

Sedang perjuangan ketiga adalah Anjing milik Baba Liong. Anjing ini sebenarnya bukan anjing pengganggu. Tapi setiap kali Andi yang punya badan kurus kerempeng mirip tengkorak berjalan itu lewat di depan hidungnya, Anjing yang punya nama keren "Boy" ini selalu dengan semangat 45 berlari mengejar Andi. Kontan saja, Andi harus pontang-panting lari menyelamatkan diri sampai-sampai sandal jepitnya putus.

Setelah berhasil melewati tiga rintangan menuju rumah Anto, akhirnya Andi berhasil menyentuh gagang pintu rumah Anto dan kejadian selanjutnya pasti sudah pembaca ketahui bersama seperti yang sudah diceritakan di paragraf awal.

"Nah, jadi gimana?" tanya Andi lagi.

"Apanya yang gimana?" Anto balas bertanya.

"Makanya, dilihat dulu dong naskahku. Jangan cuman tanya-tanya melulu," Andi memprotes.

Sekilas Anto akhirnya membaca naskah yang disodorkan sahabatnya itu. Beberapa saat kemudian, Anto berkata, "Beberapa kali aku membaca karya penulis asing untuk menambah pengetahuanku dalam menulis cerita anak.

Karena keterbatasan pemahaman linguistik anak-anak, saat menulis cerita anak kadang kita tak leluasa membuat gaya bahasa seperti layaknya karya sastra untuk orang dewasa.

Oleh karena itu, pemilihan kata untuk anak mesti diperhatikan, sehingga kesederhanaan kalimat sering kita tampilkan. Tapi, kesederhanaan yang kamu buat juga mesti berbobot.

Aku pernah membaca beberapa tips dan trik yang bisa digunakan untuk memberikan "warna" pada buku cerita anak.

Yang pertama adalah membuat perumpamaan dengan kacamata anak-anak. Contohnya, Rida paling tidak suka melihat Tante Lina berpakaian. Tempo hari, Tante Lina sangat mirip terong raksasa yang bisa berjalan. Dari topi sampai sepatunya berwarna ungu tua. Iiiiii, padahal Rida paling malas melihat yang namanya terong.

Bisa kamu bayangin, kan gimana terong ungu berjalan?

Atau contoh lainnya, kamu bisa bikin kalimat seperti ini, Muka Doni pucat. Tiwi langsung ingat udang goreng yang disediakan ibu semalam di meja makan.

Atau yang lain seperti ini. Andi bertubuh kurus. Kurus sekali hingga disangka tengkorak jalan-jalan. Kalo orang menertawakan Andi karena mirip tengkorak, maka Anjing seringkali mengejarnya karena disangka tulang yang siap untuk dimakan," jelas Anto pelan-pelan.

"Wooooi!! Nggak usah pakai fisik dong. Gue emang kurus, tapi jangan dipakai untuk contoh!" protes Andi yang nggak terima fisiknya dijadikan bahan omongan.

"Lho...kan aku ngasih contoh nyata biar kamu lebih mengerti," Anto pun membela diri.

"Ya, udah nggak usah pakai fisik deh sekarang. Trus apalagi yang bisa kamu jelaskan?" tanya Andi akhirnya.

"Oke. Yang kedua adalah mendefinisikan istilah dengan polos. Contohnya aku ambilkan dari buku Konrad.

Kak Wita tadi bercerita soal pelajaran barunya di kelas pada Ibu.
Katanya, ada pelajaran tentang akar-akaran. Tapi yang kudengar bukan akar tumbuhan, tapi akar angka. Katanya, akar 16 itu 4, akar 100 itu 10. Aku bingung. Kalau akar sejuta mungkin pohonnya besar sekali.

Atau Lo bisa ambil contoh yang lain. Tentang Paparazi misalnya. Kamu bisa bikin dialog seperti,

Paparazi itu siapa sih, Oom? Pasti Indo ya? Namanya aneh. Trus, istrinya dipanggil Mama Razi, ya?

Nah, hal-hal seperti itu yang mungkin bisa menambah 'warna' pada naskah atau buku anak-anak kamu.

Tidak ada komentar: